Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mengamati pemulihan ekonomi di Amerika Serikat (AS) hingga naiknya US Treasury, taper tantrum disebut-sebut berpotensi terjadi. Taper tantrum bisa diartikan gejolak pasar ketika bank sentral mulai mengetatkan kebijakan.
Meskipun sejumlah indikator pasar seperti US treasury yang naik 1,6% dan mendekati target inflasi The Fed yakni 2%, sejumlah analis menilai taper tantrum belum akan terjadi dalam waktu dekat ini.
Investment Specialist Sucorinvest Asset Management Toufan Yamin mengatakan, jika berkaca pada tapering yang terjadi di 2013, dampaknya terhadap ekonomi tidak terlalu signifikan. Padahal, sebenarnya perekonomian waktu itu masih membutuhkan stimulus.
“Tapering itu masih akan terjadi nanti. Karena pemulihan ekonomi baru saja dimulai, daya beli belum kembali, bisnis belum restart secara sepenuhnya. Ketika nanti misalnya dilakukan taper atau pengetatan lebih, nantinya malah akan mengganggu laju ekonomi secara global maupun AS khususnya,” terang Taufan kepada Kontan.co.id, Senin (8/3).
Baca Juga: Wall Street tertekan, saham teknologi terkoreksi
Senada, Analis Phillip Sekuritas Indonesia Anugerah Zamzami Nasr menilai, untuk saat ini tapering masih menjadi kekhawatiran awal pasar. Hal ini karena target inflasi jangka panjang yang belum stabil di 2%, serta pasar tenaga kerja AS yang belum kembali pulih serta masih jauh dari level pra-pandemi.
Saat ini, semua memang tertuju ke pernyataan The Fed dan FOMC meeting di pertengahan bulan nanti. Kebijakan yang disorot khususnya mengenai program pembelian obligasi oleh bank sentral dan petunjuk mengenai jangka waktu atau sampai kapan tren suku bunga rendah ini akan berlangsung.
“Dan kelihatannya, kecuali pasar tenaga kerja AS kembali dan bertahan di level pre Covid-19, belum ada kenaikan suku bunga dari The Fed dulu,” terang Zamzami, Senin (8/3).
Lantas, bagaimana bila AS memberlakukan kebijakan tapering? Jika berkaca pada kejadian 2013, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menurun sekitar 20% dari titik tertingginya.
Baca Juga: BEI kantongi 26 calon emiten, sektor konsumen non-primer mendominasi
Yang perlu dicatat adalah, komposisi pemain indeks dahulu dan saat ini sudah berbeda. Toufan mengatakan, dahulu investor asing banyak yang berperan sebagai penggerak pasar. Namun, dari tahun 2018 hingga saat ini, komposisi asing sudah tidak begitu banyak.
Investor domestik mendominasi. “Jadi, ketika likuiditas kering, dana asing yang lari dari Indonesia tidak akan sebanyak 2013. Impact-nya tidak banyak,” sambung dia.
Secara valuasi, Toufan menilai saat ini IHSG masih murah dibanding negara sejenis. Justru Indonesia baru akan terlihat dampak dari kenaikan inflasi ini. Berkaca dari siklus ekonomi 2008-2013, saat itu harga komoditas naik gila-gilaan, di saat US Treasury juga bergerak paralel dengan naiknya harga komoditas.
Salah satunya adalah harga minyak yang saat ini naik, meskipun perjalanan antarnegara belum sepenuhnya pulih. Padahal, hampir 30% konsumsi minyak digunakan untuk penerbangan. Tofan mengatakan, permintaan minyak saat ini masih berasal dari industri.
Baca Juga: Begini rencana pengembangan bisnis EBT Indika Energy (INDY)
Oleh karena itu, saham siklikal berbasis komoditas energi seperti minyak bumi dan batuabara menarik untuk dicermati. Emiten berbasis minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) bisa menjadi salah satu yang menarik, setelah dalam 2-3 tahun ini harganya tertekan.
Namun, harga CPO saat ini mulai pulih, bahkan baru-baru ini sempat menyentuh level tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Tentunya, ini akan bedampak baik untuk meningkatkan margin perusahan CPO. Estimasi Toufan, jika harga CPO bertahan di atas RM 3.000, tidak menutup kemungkinan emiten sawit akan bisa membagi dividen yang lebih besar dibanding tahun sebelumnya.
Zamzami menyebut, IHSG juga terdampak pergerakan yield ini. Namun, kata dia, dalam beberapa hari ke belakang, pelemahan pasar saham Indonesia tidak sedalam bursa-bursa lain. “Tetapi ketika yield frenzy ini mereda, pasar bakal kembali melihat fundamental, seberapa pemulihan ekonomi, progress vaksinasi, dan earnings revision dari konsensus,” sambung Zamzami.
Baca Juga: Melihat strategi investasi Warren Buffett dibalik penjualan saham Apple
Zamzami memperkirakan, IHSG sepanjang Maret ini akan menguat terbatas, dengan menguji level resistance 6.350 kemudian resistance berikutnya di level 6.450, dengan support 6.150-6.050. “Memang risiko yang masih membayangi kenaikan yield US treasury dapat mendorong outflow dari pasar negara berkembang termasuk Indonesia, yang dapat berakibat juga pada volatilitas rupiah,” terang Zamzami.
Zamzami merekomendasikan saham sektor cyclical yang dapat dicermati masih berasai dari sektor perbankan, semen, CPO dan, pertambangan seperti BMRI, BBTN, BBNI, INTP, SMGR, AALI, UNTR, dan ANTM.
Sementara Taofan memproyeksi IHSG sepanjang Maret ini akan berada di rentang 6.200 karena pasar yang masih cenderung wait and see. Hingga akhir 2021, dia memproyeksikan IHSG akan mampu menyentuh level tertingginya (all time high) di kisaran 6.800-7.000.
Baca Juga: Musim dividen dan yield surat utang masih menekan kurs rupiah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News