Reporter: Namira Daufina | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Sentimen positif dari domestik gagal mempertahankan penguatan rupiah di penghujung pekan ini. Mata uang Garuda kembali tertekan, setelah data inflasi Amerika Serikat (AS) lebih bagus dari perkiraan.
Jumat (16/10), di pasar spot, rupiah ditutup melemah 0,90% ke level Rp 13.540 per dollar AS. Dengan koreksi tersebut, sepekan terakhir rupiah terdepresiasi 0,95%. Kurs tengah Bank Indonesia juga mencatat, rupiah merosot 1,85% ke Rp 13.534 per dollar. Alhasil, meski menguat beberapa hari, rupiah tetap tergelincir 0,09% pada pekan ini.
Research and Analyst Divisi Tresuri Bank BNI Trian Fathria menilai, rupiah sebenarnya unggul terhadap dollar sejak awal pekan. Namun, lajunya mulai terjegal pada pertengahan minggu, setelah impor China jeblok.
Situasi semakin tak menguntungkan bagi rupiah ketika Kamis (15/10), Paman Sam merilis angka inflasi September tumbuh 0,2%, dari sebelumnya 0,1%. Klaim pengangguran mingguan juga mengecil. "Ini menyeret rupiah," ujarnya.
Meski tertekan, Sri Wahyudi, Research and Analyst Fortis Asia Futures, bilang, pergerakan rupiah masih terjaga, lantaran sentimen di domestik sedang bagus. Rupiah mendapat sokongan data surplus neraca perdagangan yang meningkat dan BI rate bertahan di level 7,5%.
Wahyudi menduga, dengan bekal data domestik yang cukup bagus, momentum penguatan rupiah masih mungkin terjaga. Apalagi, pasar akan merespons paket kebijakan ekonomi jilid 4. Prediksinya, pekan depan, rupiah masih bisa menguat ke Rp 13.400-Rp 13.650 per dollar.
Tapi Trian menduga, rupiah masih rawan tekanan pada pekan depan. Soalnya, mata uang Asia akan bereaksi terhadap data PDB China kuartal tiga yang dinilai mengindikasikan perlambatan. "Rupiah akan bergerak antara Rp 13.400-Rp 13.800 per dollar AS," prediksinya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News