Reporter: Benedicta Prima | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Astrindo Nusantara Infrastruktur Tbk (BIPI) tengah memperdagangkan rights issue alias penambahan modal dengan memberikan hak memesan efek terlebih dahulu (PMHMETD) I sampai 19 Juli 2019 nanti.
BIPI menjelaskan dana segar yang didapatkan dari rights issue tersebut akan digunakan untuk modal kerja sebanyak 5% dan ekspansi usaha sebanyak 95%. "Antara lain pembelian aset pada sektor energi dan infrastruktur energi," jelas Sekretaris Perusahaan BIPI Kurniawati Budiman kepada Kontan.co.id, Jumat (12/7).
Untuk ekspansi usaha, pada saat ini BIPI masih dalam tahap penjajakan dan proses uji tuntas. Diharapkan periode pelaksanaan ekspansi tersebut akan rampung pada semester satu tahun 2020.
Baca Juga: Waskita Beton Precast (WSBP) kantongi 30% target kontrak baru hingga semester I
Kurniawati belum membeberkan secara pasti proyek apa saja yang akan dilanjutkan, sebab saat ini BIPI masih harus melakukan due diligence. "Kami masih dalam tahap analisis dan peninjauan beberapa proyek baru, namun belum ada keputusan yang dibuat," imbuh dia.
Analis Profindo Sekuritas Indonesia Dimas Wahyu Pratama menyarankan, investor untuk tidak buru-buru mengambil aksi. Sebab harga tebus rights issue masih dinilai kurang menarik. Sebagai gambaran harga rights issue ditetapkan Rp 100 sedangkan harga terakhir saat ini ditutup di level Rp 62.
"Wait and see dulu sampai ada kejelasan pembangunan proyeknya. Saat ini tahapan mereka masih uji kelayakan proyek belum capex untuk pembangunan," jelas Wahyu.
Baca Juga: Ini ulasan marketing sales sejumlah emiten properti di awal tahun 2019
Berdasarkan riset Kontan.co.id, saat ini BIPI tengah menggenjot proyek infrastruktur energi yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan. Total ada sembilan proyek yang akan digarap dengan alokasi kebutuhan dana sebanyak US$ 2,5 miliar.
BIPI tengah melakukan studi kelayakan atas sembilan proyek tersebut dan diharapkan studi pertama selesai pada kuartal tiga tahun ini. Beberapa proyek awal akan fokus pada perluasan infrastruktur yang ada untuk meningkatkan kapasitas penanganan batubara perusahaan 24 juta ton hingga 30 juta ton dalam jangka waktu tiga tahun.
Lebih lanjut, rights issue yang diterbitkan sebanyak 4,53 miliar saham baru dengan nilai nominal Rp 100. Jumlah tersebut setara dengan 10,14% dari modal yang ditempatkan dan disetor penuh. BIPI membidik dana segar sekitar Rp 453,4 miliar.
Setiap pemegang 62 saham memiliki tujuh HMETD, di mana satu HMETD berhak untuk membeli satu saham baru yang harus dibayar penuh pada saat mengajukan pemesanan pelaksanaan HMETD.
Bersamaan dengan penerbitan rights issue tersebut, BIPI juga menerbitkan 13,6 miliar waran seri II setara dengan 33,87% dari modal yang ditempatkan dan disetor penuh. Di mana pada setiap satu saham hasil pelaksanaan HMETD tersebut melekat tiga waran.
Waran ini memberikan hak kepada pemegangnya untuk membeli saham dengan nominal Rp 100. Setiap pemegang satu waran berhak membeli satu saham perseroan dengan harga pelaksanaan Rp 125 per saham sehingga seluruhnya berjumlah maksimal Rp 1,7 triliun. Waran tersebut bisa dilaksanakan selama periode 6 Januari 2020 sampai dengan 6 Januari 2023.
Baca Juga: Simak rekomendasi sejumlah analis untuk saham properti
Sementara itu analis Binaartha Sekuritas, Muhammad Nafan Aji Gusta menyarankan para investor untuk menahan dulu keinginan untuk membeli ataupun menjual sahamnya di BIPI.
Alasannya, pergerakan harga saham emiten yang bergerak pada sektor jasa tambang ini masih belum menggambarkan mekanisme pasar yang sebenarnya. Sebab, bila terjadi peak season, harga bisa mencapai level Rp 80, sedangkan saat ini di level Rp 62.
"Saat ini belum ada aktivitas pergerakan harga kecuali terjadi demand kuat pada pasar negosiasi yang membuat harga saham pump and dump dalam waktu sehari dua hari. Mekanisme pasar belum terbentuk, takutnya seperti itu," jelas Nafan saat dihubungi Kontan, Jumat (12/7).
Baca Juga: Astrindo Nusantara (BIPI) yakin cetak laba bersih sekitar US$ 12,1 juta di semester I
Nafan melihat pergerakan harga BIPI menunjukkan aktivitas di level Rp 50 dengan tingkat volume nol. Lalu pada Jumat (24/5) mulai terjadi peningkatan volume tetapi harga kembali di level Rp 50 - Rp 52 dan terus bertahan di level itu hingga awal bulan Juli.
Lalu terjadi aksi profit taking jangka pendek ke angka Rp 74 pada 4 Juli lalu, meskipun tetap ditutup di level Rp 52. "Jadi belum ada katalis positif. Hanya aksi spekulan ambil aksi untung," imbuh dia.
Dia menambahkan saat ini belum terjadi pola wave sehingga dia belum bisa melihat tren ke depan. Pola wave ini akan terbentuk apabila terjadi mekanisme pasar dalam pergerakan harga saham BIPI.
Lebih lanjut, dari sisi fundamental, Nafan menilai Price Earning Ratio (PER) BIPI masih sangat rendah yaitu 7,38 kali. Sementara dari sisi Debt Equity Ratio (DER) masih cukup tinggi yaitu 219,28%.
Dari sisi penjualan, pada kuartal I-2019 BIPI membukukan peningkatan pendapatan hingga 4.235% dari US$ 0,37 juta menjadi US$ 16,04 juta. Pendapatan ini berasal dari sewa pelabuhan sebesar 71,4% dan sewa crusher 28,6%.
Sedangkan di periode yang sama tahun sebelumnya, pendapatan BIPI hanya berasal dari bisnis pertambangan yang menyumbang 100%.
Baca Juga: Delapan hari usai IPO, saham Indonesian Tobacco (ITIC) melonjak hingga 153,42%
Peningkatan pendapatan ini diikuti dengan peningkatan beban hingga 425% menjadi US$ 2,45 juta. Ini menyebabkan laba bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk turun 17,9% menjadi US$ 6,05 juta
Ke depan, Nafan menyarankan kepada BIPI untuk lebih detil lagi memberikan informasinya kepada investor publik terutama terkait strategi bisnis. Saat ini BIPI tengah fokus pada penyediaan infrastruktur tambang batubara. Mulai dari pelabuhan, penghancuran batubara, coal preparation plant (CPP) hingga overland conveyor (OC).
Sebelumnya perusahaan ini fokus menggarap bisnis di sektor migas. Namun fluktuatifnya harga komoditas minyak mentah membuat perusahaan ini meninggalkan bisnis pertambangan minyak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News