Reporter: Inggit Yulis Tarigan | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Konflik antara Iran dan Isarel makin panas setelah Amerika Serikat (AS) menyerang tiga fasilitas nuklir Iran di wilayah Natanz, Fordow, dan Isfahan di akhir pekan lalu.
Alhasil, investor pun mulai melirik aset safe haven. Meskipun belum terjadi aksi penghindaran besar-besaran dari aset berisiko, kecenderungan investor masuk ke aset lindung nilai mulai terlihat.
Analis Doo Financial Futures Lukman Leong mengatakan, sentimen pasar saat ini masih relatif positif, namun mulai terganggu oleh situasi geopolitik yang berkembang.
"Belum ada penghindaran aset berisiko secara signifikan, namun semakin banyak investor yang masuk ke safe haven," ujar Lukman kepada Kontan, Senin (23/6).
Baca Juga: Harga Emas Spot Naik ke US$ 3.371,3 Senin (23/6) Pagi, Permintaan Safe Haven Melesat
Menurut Lukman, beberapa aset berisiko masih menunjukkan daya tarik jangka pendek tergantung sentimen. Namun, arah pergerakan berikutnya akan sangat bergantung pada perkembangan geopolitik lanjutan.
"Kalau eskalasi terus meningkat, saham negara berkembang bisa tertekan karena cenderung lebih sensitif. Bitcoin (BTC) masih cukup stabil, tetapi altcoin sangat bergejolak. Sementara itu, saham secara umum akan ikut terseret volatilitas," imbuh Lukman.
Di tengah kondisi tersebut, investor mulai melirik aset safe haven sebagai alternatif perlindungan nilai. Lukman menyebutkan, saat ini yang paling banyak dipilih adalah emas, franc Swiss (CHF), dan yen Jepang (JPY).
“Dolar AS saat ini kurang bersinar sebagai safe haven karena investor pada umumnya tidak begitu yakin pada dolar AS karena kebijakan dan tindakan Trump yang justru merupakan sumber dari semua ketidakpastian,” ujar Lukman.
Senin (23/6) pukul 15.30 WIB, indeks dolar AS terlihat menguat ke 99,06. Padahal di Jumat (20/6), indeks dolar AS masih betah berkutat di level 98,707.
Ia menekankan bahwa aset safe haven bukan ditujukan untuk mengejar keuntungan, melainkan sebagai lindung nilai. Maka dari itu, transaksinya akan tergantung pada perkembangan.
Menurut Lukman, kenaikan harga emas dalam 1 tahun-2 tahun terakhir memang didukung oleh perang dan tensi geopolitik, namun faktor utamanya berasal dari permintaan bank sentral.
“Faktor utama sebenarnya adalah permintaan bank sentral seperti China dalam upaya diversifikasi cadangan devisa, dan diikuti bank-bank sentral lain dan investor. Tensi geopolitik, tarif, perang hanya mempercepat kenaikan,” lanjutnya.
Baca Juga: Rupiah Ditutup Melemah ke Rp 16.492 Per Dolar AS Hari Ini (23/6), Seluruh Asia Turun
Untuk jangka pendek, Lukman memperkirakan harga emas masih akan bergejolak dan bisa kembali mendekati rekor tertingginya. Ia juga memperkirakan indeks dolar AS (DXY) akan tetap tertekan, sementara CHF dan JPY akan terus menjadi mata uang safe haven yang menggantikan peran dolar.
Berikut proyeksi kisaran harga yang disampaikan Lukman:
Emas
-
Jangka pendek: US$ 3.300 - US$ 3.450 per ons troi
-
Jangka panjang: US$ 3.700 - US$ 3.800 per ons troi
Yen Jepang (JPY/USD)
-
Jangka pendek: 145 - 150
-
Jangka panjang: 135 - 140
Franc Swiss (CHF/USD)
-
Jangka pendek: 0,8100 - 0,8300
-
Jangka panjang: 0,7800 - 0,8000
Dolar AS (DXY)
-
Jangka pendek: 98 - 100
-
Jangka panjang: 96 - 98
Ketika ditanya mengenai proyeksi jangka panjang emas yang mencapai US$ 3.700, Lukman menjawab bahwa hal tersebut berkaitan dengan ekspektasi bahwa ketegangan geopolitik masih akan berlanjut.
Selanjutnya: Tiga Anak Usaha Barito Renewables Energy (BREN) Dapat Pinjaman US$ 121,10 Juta
Menarik Dibaca: Coba Metode Pembersihan 6/10, Begini Cara Bertahan di Rumah Sepanjang 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News