Reporter: Rezha Hadyan | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri kelapa sawit di Tanah Air nampaknya kembali menghadapi hambatan baru. Setelah menghadapi hambatan dari benua biru akibat pembatasan impor minyak kelapa sawit oleh Uni Eropa (UE) yang dinilai diskriminatif, kini hambatan baru itu hadir dari Jepang.
Jaringan supermarket terbesar di Negeri Sakura, AEON kini mulai menerapkan sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) bagi perusahaan yang menyuplai minyak kelapa sawit untuk kebutuhan bahan baku barang konsumsi yang mereka jual.
Dengan adanya aturan baru tersebut nantinya mulai tahun 2020 hanya perusahaan kelapa sawit yang punya sertifikat RSPO saja yang bisa menyuplai minyak kelapa sawit kepada AEON.
Kebijakan baru dari AEON ini tentunya patut dikhawatirkan bagi industri kelapa sawit di tanah air lantaran bisa semakin menggerus pangsa pasar ekspor yang sebelumnya sudah mulai tergerus akibat kebijakan UE. Kinerja dari emiten-emiten kelapa sawit yang melantai di bursa saham pun kemungkinan kembali terpengaruh.
AEON merupakan satu dari 40 perusahaan Jepang yang telah menyatakan diri untuk bergabung dengan RSPO. RSPO adalah asosiasi yang terdiri dari berbagai elemen dari berbagai sektor industri yang berkaitan dengan kelapa sawit seperti perkebunan, pemrosesan, distributor, hingga industri manufaktur.
Turut bergabung pula di dalamnya investor, akademisi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang lingkungan yang bertujuan mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan.
Asal tahu saja, RSPO didirikan tahun 2004 dengan kursi asosiasi berada di Zurich, Swiss, dan kesekretariatan berada di Kuala Lumpur, Malaysia dan kantor cabang di Jakarta. Organisasi ini diklaim telah memiliki 1000 anggota di lebih dari 50 negara.
Head of Corporate Secretary PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS) Swasti Kartikaningtyas menilai bahwa kebijakan yang diambil oleh AEON ini sebagai suatu hal yang positif.
Dengan adanya ketentuan ini maka industri kelapa sawit, khususnya di Indonesia bisa berkembang dan menjadi industri yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
“Dengan demikian tentu akan menambah manfaat dari minyak kelapa sawit, meningkatkan kepercayaan akan industri minyak kelapa sawit, menambah permintaan yang juga menambah nilai jualnya,” kata dia ketika dihubungi oleh Kontan.co.id pada Rabu (13/2)
Saat ini diketahui sebagian besar minyak kelapa sawit yang diproduksi dari lahan yang dimiliki oleh Sawit Sumbermas Sarana telah mengantongi sertifikat RSPO. Ditargetkan pada tahun 2020 seluruh lahan yang dimiliki oleh Sawit Sumbermas Sarana telah mendapatkan sertifikat tersebut.
Sertifikat RSPO dinilai sangat penting mengingat emiten kelapa sawit yang berbasis di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah ini berorientasi ekspor dan masih berupaya merambah negara tujuan ekspor baru melalui roadshow yang akan dilakukan pada kuartal-III 2019.
Roadshow itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan ke beberapa negara di Asia dan Eropa seperti Laos, Kamboja, Nepal, Myanmar, Uzbekistan, dan Bulgaria.
Asal tahu saja, pada tahun 2019 Sawit Sumbermas Sarana ini menargetkan porsi ekspor sebesar 35% dari keseluruhan minyak kelapa sawit yang diproduksi.
Untuk target di akhir 2019, emiten kelapa sawit yang berdiri pada tahun 1995 bisa meraih pertumbuhan produksi minyak kelapa sawit sebesar 23% secara year on year (yoy), serta pendapatan laba bersih sekitar 20% yoy.
Sementara itu, emiten kelapa sawit lainnya PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT) menyatakan tidak terpengaruh dengan kebijakan yang diambil oleh AEON terkait lantaran sudah sejak lama mengantongi sertifikat RSPO di seluruh lahan yang mereka miliki.
Corporate Secretary Austindo Nusantara Jaya Naga Waskita menilai sertifikat RSPO membuat minyak kelapa sawit yang diproduksi oleh emiten yang didirikan pada tahun 1993 ini bisa dengan mudah diterima oleh negara yang menjadi tujuan ekspor alternatif di luar seluruh negara anggota UE, China, dan India.
Saat ini Austindo Nusantara Jaya memiliki area perkebunan yang tersebar di wilayah Sumatra Utara, Belitung, dan Kalimantan Barat. Dalam waktu dekat akan dibuka pula area perkebunan baru di Papua Barat. "Saat ini sudah dibangun, masih proses," kata Naga.
Diketahui saat ini, luas lahan yang dimiliki oleh Austindo Nusantara Jaya adalah sebesar 157.682 dengan luas area tertanam per Desember 2018 sebesar 54.678 hektare (ha). Lahan tersebut yang meliputi kebun inti seluas 50.200 ha dan kebun plasma seluas 4.478 ha.
Masih berkaitan dengan sertifikat RSPO, diketahui pula bahwa PT PP London Sumatra Tbk tidak mengantongi sertifikat itu. Emiten kelapa sawit yang tergabung dalam Salim Group ini telah menyatakan keluar dari skema sertifikasi berkelanjutan yang dikelola oleh RSPO.
Melalui surat tertanggal 17 Januari 2019 yang ditujukan kepada CEO RSPO Datuk Darrel Webber, PP London Sumatra secara resmi undur diri karena tidak setuju oleh hasil audit dari RSPO.
Namun akhirnya surat tersebut diklarifikasi langsung oleh Datuk Darrel Webber pada 24 Januari 2010. Ia menyatakan bahwa Lonsum bukan bagian dari anggotanya.
Adapun yang menjadi anggota RSPO adalah PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), induk usaha PP London Sumatra yang berstatus sebagai pemegang saham mayoritas sebesar 59,48%.
Lantas bertambahnya hambatan bagi ekspor minyak kelapa sawit ini apakah akan memberikan pengaruh pada pergerakan saham emiten kelapa sawit yang melantai di Bursa Efek Indonesia?
Analis Indo Premier Sekuritas Mino mengatakan kebijakan yang muncul dari AEON ini tentunya akan mempengaruhi kinerja emiten berorientasi ekspor yang belum memiliki sertifikasi RSPO.
Tetapi kinerja mereka dinilai masih akan tertolong oleh kebijakan pemerintah terkait dengan Biodiesel B-20 yang akan menyerap lebih banyak produksi minyak kelapa sawit dalam negeri.
“Selain itu isu mengenai hambatan kelapa sawit dan sertifikasi RSPO ini sudah bergulir cukup lama, tentunya koreksi harga yang sempat terjadi tahun lalu sudah cukup merefleksikan isu tersebut, sudah price-in,” kata Mino.
Sementara itu Analis Panin Sekuritas William Hartanto menilai prinsip-prinsip yang ada di dalam sertifikat RSPO sangat sederhana, tapi tentunya bisa mempengaruhi penjualan ekspor emiten kelapa sawit.
Emiten-emiten tersebut masih bisa tertolong oleh kebijakan pemerintah terkait dengan Biodiesel B-20. “Biodiesel B-20 masih bisa membantu selama masih dijalankan dan bisa melindungi produk dalam negeri,” kata dia.
Analis Samuel Sekuritas Sharlita Malik melalui hasil risetnya yang diterima oleh Kontan.co.id mengatakan secara keseluruhan saham emiten kelapa sawit di tahun 2019 masih dipengaruhi oleh sejumlah sentimen positif.
“Peluang penguatan harga minyak kelapa sawit di kuartal pertama tahun 2019 seiring dengan penurunan bea masuk ke India akan menjadi salah satu sentimen positif,” ungkap dia.
Sebagai informasi, per Januari 2019 Pemerintah India memutuskan menurunkan bea masuk bagi minyak kelapa sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dari negara-negara ASEAN termasuk Indonesia sebesar 400 bps menjadi 40% dan Refined Palm Oil sebesar 900 bps menjadi 50%, terkecuali bagi Malaysia yang hanya diturunkan 45%.
Penurunan bea masuk ini tentu berpeluang membuat harga minyak kelapa sawit menjadi lebih murah dan meningkatkan permintaan India yang selama ini menjadi importir terbesar minyak kelapa sawit dunia.
Kemudian Sharlita juga menilai implementasi program Biodiesel B-20 berjalan dengan baik. Hal tersebut bisa dilihat dari penyerapan Biodiesel B20 yang mencapai 6 juta kiloliter atau meningkat 76% yoy dan rencana pemerintah menambah dua floating storage di Balikpapan yang diperkirakan berdampak pada realisasi Biodiesel B20 mencapai 96% di kuartal pertama tahun 2019.
“Kami estimasikan konsumsi Biodiesel B20 mencapai 6,2 juta kiloliter atau naik 3% yoy. Potensi ini belum memfaktorkan rencana penggunaan green gasoline, green diesel, dan avtur di Indonesia,” papar dia.
Kemudian melemahnya pasokan berpotensi berlanjut hingga tahun 2020 karena pengaruh El Nino yang berpeluang terjadi sekitar 75-80% di paruh kedua tahun 2019. Melemahnya pasokan tentu akan mengerek harga minyak kelapa sawit.
Lebih lanjut, ia menjelaskan di tahun 2019, pertumbuhan produksi CPO diproyeksi akan moderat jika dibandingkan dengan 2016 yang tumbuh 10% yoy. Pasokan dari Indonesia dan Malaysia berpeluang melemah 7,6% menjadi 13 juta ton atau sejalan dengan pelemahan yield.
Kemudian ketergantungan global akan minyak kelapa sawit cenderung meningkat seiring dengan produksi kedelai yang melambat. Hal itu terlihat dari permintaan China yang menguat pada tahun lalu sebesar 17% dan stabilnya permintaan India.
“Secara historis permintaan minyak kelapa sawit di kuartal pertama tahun 2019 sebesar 19 juta ton, menurunnya produksi di tahun 2019 berpeluang menciptakan defisit sebesar 2 juta ton. Namun, kebijakan RED II berpeluang mengurangi permintaan di Eropa yang nantinya akan dikompensasikan dengan meningkatnya permintaan dalam negeri dan kemungkinan dari China,” kata Sharlita.
Terakhir, Sharlita bilang bahwa saham-saham emiten kelapa sawit punya bobot lebih besar atawa overweight di tahun 2019 karena adanya peluang penguatan harga minyak kelapa sawit sebesar 11% yoy ke level 2.250 ringgit Malaysia per metrik ton yang didukung oleh peningkatan volume penjualan dengan persentase sama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News