Reporter: Hasyim Ashari, Herry Prasetyo | Editor: A.Herry Prasetyo
JAKARTA. Rilis laporan keuangan tak selalu berbanding lurus dengan pergerakan harga saham. Investor di bursa saham tentu mafhum, saat laporan keuangan menunjukkan penurunan kinerja, harga saham belum tentu ikut turun. Sebaliknya, harga saham bisa naik meski perolehan laba perusahaan turun.
Anda tentu paham, harga saham bukan hanya menyangkut kinerja emiten di masa lalu. Pergerakan harga saham juga mencerminkan ekpektasi pelaku pasar terhadap kinerja emiten di masa mendatang.
Harga saham PT Surya Citra Media Tbk (SCMA), misalnya, awal pekan ini naik 4,07% menjadi Rp 2,810 per saham. Padahal, kinerja keuangan SCMA pada tahun 2016 yang dirilis Jumat (31/3) lalu kurang memuaskan. Sebab, meski pendapatan tumbuh 6,8% menjadi Rp 4,5 triliun, laba bersih SCMA tahun lalu justru turun. Per akhir 2016, laba bersih SCMA turun tipis sebesar 1,48% menjadi Rp 1,5 triliun.
Dihitung sejak awal tahun, harga saham SCMA memang baru naik 0,36%. Namun, pada 24 Febuari lalu, saham SCMA sempat mendaki hingga menyentuh harga Rp 3.150 per saham. Setelah itu, harga saham SCMA memang cenderung melemah.
Pergerakan harga saham SCMA justru berbanding terbalik dengan rivalnya, PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN). Setelah anjlok hingga menyentuh harga terendah sepanjang setahun terakhir sebesar Rp 1.505 per saham pada 17 Februari lalu, harga saham MNCN terus mendaki. Hari ini, Senin (3/4), harga saham MNCN sudah berada di posisi Rp 1.840 per saham. Jika dihitung sejak awal tahun, harga saham MNCN naik sebesar 4,84%. Dalam sepekan terakhir, harga saham MNCN melejit 10,84%.
Pergerakan harga saham emiten media memang tidak lepas dari optimisme pelaku pasar terhadap peningkatan kinerja tahun ini. Maklum, setelah sempat melambat pada 2015 lalu, belanja iklan di televisi pada tahun2016 mulai melaju.
Hasil temuan Nielsen Advertising Information Services menyebutkan, total belanja iklan tahun lalu mencapai Rp 134,8 triliun, tumbuh 14% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, sebesar 77% di antaranya merupakan belanja iklan di televisi.
Masih berdasarkan data Nielsen, belanja iklan di media televisi tahun lalu tumbuh sebesar 22%. “Di tahun 2016, terlihat bahwa kepercayaan pasar sudah bangkit seperti sedia kala,” ungkap Hellen Katherina, Executive Director & Head of Media Business Nielsen Indonesia.
Bagaimana dengan tahun ini? Analis meyakini, tren belanja iklan masih akan tumbuh positif di 2017. Analis BNI Securities Thendra Chrisnanda memperkirakan, belanja iklan di media televisi setidaknya berpotensi tumbuh sebesar 10%.
Penopang pertumbuhan belanja iklan, menurut Thendra, berasal dari perusahaan produsen barang konsumsi. Mereka bakal jauh lebih agresif lagi memasarkan produk lewat iklan televisi lantaran meluncurkan banyak produk baru.
Henry Wibowo, Analis Bahana Securities, mengamini, belanja iklan tahun ini masih tumbuh positif. Malah, ia memperkirakan, pertumbuhan belanja iklan sepanjang 2017 bisa mencapai kisaran 12%–13%. Alasannya, harga komoditas kembali pulih, alhasil daya beli masyarakat mestinya bakal naik.
Oleh karena itu, kinerja perusahaan khususnya produsen barang konsumsi cepat habis alias fast moving consumer good (FMCG) tetap akan tumbuh. Mereka akan terus merogoh kocek untuk membiayai belanja iklan demi mempertahankan pangsa pasar.
Meski begitu, Henry mengingatkan, pertumbuhan belanja iklan di kuartal I 2017 cenderung jelek. Sebab, korporasi masih akan menahan bujet iklan selama pemilihan kepala daerah (pilkada), khusunya pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang belum rampung.
Selama kondisi politik masih gaduh, Henry bilang, perusahaan tidak berani jorjoran belanja iklan. “Perusahaan masih menunggu situasi politik dingin kembali, siapa pun yang menang,” ujar Hendry.
Walau di tiga bulan pertama jelek, belanja iklan di kuartal II 2017 diperkirakan kembali pulih. Di semester II, belanja iklan akan tumbuh menguat.
Perang konten
Yang menarik, di tengah tren belanja iklan yang tumbuh positif, perang konten media televisi juga kian memanas. Maklum, peringkat program alias rating dan pangsa pemirsa atawa audience share biasanya jadi pertimbangan pemasang iklan.
Perang konten paling seru terjadi antara dua perusahaan televisi yang sahamnya diperdagangkan di bursa saham: SCMA versus MNCN. Persaingan memperebutkan pangsa pemirsa makin panas pasca SCMA melalui anak usahanya PT Indonesia Enternainmen Group mengakuisisi PT Sinemart Indonesia pada Januari lalu.