kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.755   -3,00   -0,02%
  • IDX 7.480   -25,75   -0,34%
  • KOMPAS100 1.154   -2,95   -0,26%
  • LQ45 913   0,81   0,09%
  • ISSI 227   -1,59   -0,70%
  • IDX30 471   1,26   0,27%
  • IDXHIDIV20 567   3,73   0,66%
  • IDX80 132   -0,15   -0,11%
  • IDXV30 139   -0,18   -0,13%
  • IDXQ30 157   0,79   0,50%

Walau ada RDG BI, pasar obligasi Indonesia masih akan dibayangi sentimen eksternal


Senin, 18 Februari 2019 / 19:59 WIB
Walau ada RDG BI, pasar obligasi Indonesia masih akan dibayangi sentimen eksternal


Reporter: Dimas Andi | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kendati pekan ini akan berlangsung Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, pasar obligasi Indonesia akan tetap dipengaruhi oleh sejumlah sentimen yang berasal dari luar negeri.

Ekonom PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri C. Permana mengatakan, para investor masih akan mencermati sentimen-sentimen eksternal yang terjadi akhir-akhir ini.

Salah satunya adalah perkembangan perundingan dagang antara AS dan China. Sentimen ini dinilai cukup krusial bagi pasar obligasi Indonesia mengingat batas waktu gencatan senjata perang dagang kian dekat yakni pada 1 Maret mendatang.

Menurutnya, jika perundingan dagang berlangsung lancar, kurs rupiah sangat berpotensi kembali menguat di bawah level Rp 14.000 per dollar AS. Dengan begitu, yield SUN seri acuan 10 tahun juga berpeluang turun di kisaran 7,8%.

Sebaliknya, kurs rupiah bisa melemah ke level Rp 14.300 per dollar AS yang diikuti oleh melesatnya yield SUN 10 tahun ke area 8,2%-8,3% apabila perundingan dagang menemui kegagalan. “Hasil perundingan dagang sangat berkorelasi dengan pergerakan rupiah dan yield SUN,” terang Fikri, Senin (18/2).

Tak hanya itu, kabar bahwa jumlah utang pemerintah AS yang mencapai US$ 22 triliun yang terungkap pada pekan lalu juga tengah dikhawatirkan para investor.

Membengkaknya utang negeri Paman Sam cukup dipengaruhi oleh kebijakan pelonggaran pajak yang diberlakukan di negara tersebut sejak akhir 2017 lalu. Kebijakan tersebut dinilai belum terlalu efektif bagi pemerintah AS.

“Tingginya utang pemerintah AS bisa mendorong penurunan harga dan kenaikan yield obligasi di seluruh dunia,” kata Fikri.

Terlepas dari itu, Eric Sutedja, Head of Fixed Income Fund Manager Prospera Asset Management menilai, ancaman yang mengintai pasar obligasi domestik dapat diredam mengingat investor asing masih terus melakukan aksi beli.

Hal ini seiring kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi di sejumlah negara maju, sehingga para investor global mulai mencari peluang di negara-negara emerging market. “Tugas BI tinggal menetapkan kebijakan moneter yang pas agar SUN Indonesia menarik di mata asing,” tandasnya, hari ini.

Sebagai informasi, Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemkeu mencatat, kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) telah mencapai Rp 931,67 triliun hingga Jumat (15/2) lalu. Padahal, di akhir tahun lalu kepemilikan asing di SBN hanya mencapai Rp 893,25 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×