kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.462.000   9.000   0,37%
  • USD/IDR 16.663   -15,00   -0,09%
  • IDX 8.660   40,02   0,46%
  • KOMPAS100 1.192   10,20   0,86%
  • LQ45 848   1,27   0,15%
  • ISSI 313   2,80   0,90%
  • IDX30 434   0,50   0,12%
  • IDXHIDIV20 501   -0,35   -0,07%
  • IDX80 134   1,11   0,84%
  • IDXV30 138   1,59   1,16%
  • IDXQ30 138   -0,09   -0,07%

Tertinggal dari IHSG, Valuasi Konstituen Indeks LQ45 Dinilai Masih Menarik di 2026


Minggu, 14 Desember 2025 / 19:20 WIB
Diperbarui Minggu, 14 Desember 2025 / 19:22 WIB
Tertinggal dari IHSG, Valuasi Konstituen Indeks LQ45 Dinilai Masih Menarik di 2026
ILUSTRASI. Kinerja indeks unggulan di Bursa Efek Indonesia (BEI), yakni LQ45 masih tertinggal jauh dibanding dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)


Reporter: Yuliana Hema | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja indeks unggulan di Bursa Efek Indonesia (BEI), yakni LQ45 masih tertinggal jauh dibanding dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di sepanjang tahun berjalan ini.

Hingga akhir perdagangan Jumat (12/12), IHSG melesat 22,23% year to date. Sedangkan, indeks LQ45 hanya naik 2,63%. Indeks unggulan lainnya, IDX30 juga hanya menguat 2,53%. 

Penguatan IHSG justru ditopang saham-saham konglomerat dan saham lainnya yang tidak masuk ke dalam indeks LQ45. Seperti, saham PT DCI Indonesia Tbk (DCII) yang berkontribusi sebesar 246,60 poin. 

Sebenarnya ada konstituen indeks LQ45 yang menguat bahkan menopang IHSG. Yakni, PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) yang merupakan kontributor utama terhadap pergerakan IHSG. 

Baca Juga: Persaingan Bisnis Semakin Tinggi, Simak Rekomendasi Saham Sektor Telekomunikasi

Sepanjang tahun berjalan ini, harga saham DSSA sudah melonjak 187,16% ke posisi Rp 106.250 per saham. Penguatan pada saham emiten Grup Sinarmas itu menyumbang poin terhadap pergerakan IHSG. 

Namun bobot DSSA terhadap indeks LQ45 tergolong rendah, bahkan masih di bawah level 10%. Berdasarkan data BEI, bobot DSSA terhadap indeks LQ45 hanya 8,04%. 

Sedangkan, saham-saham dengan bobot atau kontribusi besar terhadap pergerakan indeks paling likuid ini sedang tertekan. Saham perbankan masih menjadi motor penggerak indeks. 

Sepanjang tahun ini, saham BBCA sudah terkoreksi 17,31% Padahal, bobot BBCA terhadap LQ45 sebesar 15%. Bobot BBCA menjadi yang terbesar dan berpengaruh terhadap indeks LQ45. 

Dengan bobot 13,52%, BBRI menjadi saham dengan bobot terbesar kedua di Indeks LQ45. Sepanjang tahun berjalan ini saham BBRI turun sebesar 11,03% ke posisi Rp 3.630 per Jumat (12/12). 

Meski demikian, indeks saham-saham yang ada di indeks LQ45 masih bisa dicermati untuk tahun depan. Pasalnya, secara valuasi saham-saham penghuni indeks LQ45 masih atraktif. 

LQ45 Tetap Jadi Acuan

Pengamat Pasar Modal & Co-Founder Pasar Dana Hans Kwee menuturkan bagi manajer investasi (MI) yang mengelola dana tetap indeks LQ45 tetap bisa digunakan untuk menjadi acuan.

“Pengelolaan dana oleh MI tetap mengacu pada indeks LQ45 karena investment universe (IU) dibatasi pada saham-saham big cap atau blue chip,” jelasnya kepada Kontan, Minggu (14/12/2025). 

Setali tiga uang, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas Nafan Gusta bilang indeks LQ45 masih bisa menjadi benchmark untuk menyusun portofolio investasi di tahun depan karena sahamnya likuid dan punya fundamental kuat. 

“Kinerja fundamental bagus dan konsisten sehingga masih bisa dijadikan benchmark jika dibandingkan dengan saham-saham konglomerat,” kata dia. 

Baca Juga: Secara Teknikal, IHSG Berpeluang Menguat pada Senin (15/12), Saham Apa yang Menarik?

Memang kalau dicermati saham-saham pendorong IHSG masih tergolong growth stock. Yakni, emiten masih dalam tahap pertumbuhan, yang secara fundamental belum teruji. 

“Secara valuasi, saham-saham konglomerat sudah extremely overvalued. Bahkan ada yang price earning ratio hingga triple digit dengan price book value di angka double digit,” ucap Nafan. 

Head of Strategy and Equity Analyst Mandiri Sekuritas Adrian Joezer menambahkan, secara historis, saham blue chip cenderung tertinggal saat fase down cycle. Namun kondisi ini menciptakan peluang valuasi yang menarik ketika risiko mulai terdiskon. 

“Secara historis, saham-saham blue chip biasanya underperform di fase penurunan siklus, dan ini yang sedang kita lihat pada LQ45 saat ini. Namun dari sisi valuasi, Indonesia justru menjadi salah satu pasar paling atraktif di kawasan,” ucapnya. 

Dalam catatan Mandiri Sekuritas, valuasi pasar saham Indonesia berada di bawah rata-rata historis sepuluh tahun. Kondisi ini tercermin pada LQ45 dan IDX30 yang mencatat deviasi negatif, menunjukkan harga saham relatif murah dibandingkan fundamental jangka panjangnya. 

Selain itu, kata Joezer, imbal hasil dividen ke depan untuk saham-saham unggulan Indonesia juga berada di atas rerata historis. Hal ini mengindikasikan kompensasi risiko yang lebih menarik bagi investor di tengah ketidakpastian global.

Lebih lanjut, Hans menyebut tidak perlu benchmarking untuk secara keseluruhan. Menurutnya ada beberapa big caps yang bisa dicermati oleh ritel, khususnya BBCA, ASII dan TLKM.

Sementara saham pilihan Nafan jatuh pada ADMR, BBCA, BBNI, BBRI, BMRI, BRPT , GGRM, JPFA, MEDC, PGAS, SCMA. 

Baca Juga: IHSG Berpeluang Menguat Terbatas pada Senin (15/12), Cek Rekomendasi Saham Emiten Ini

Selanjutnya: Potensi Penggunaan Dana Minyak Bumi untuk Kembangkan DME

Menarik Dibaca: Dampak Bibit Siklon Tropis 93S Meluas, Cuaca Hujan Lebat di Jawa Bali Nusa Tenggara

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×