Reporter: Danielisa Putriadita | Editor: Wahyu T.Rahmawati
Namun, sejumlah pekerjaan rumah masih harus diselesaikan. Salah satunya membuat reksadana ETF terjangkau oleh investor ritel dan menambah likuiditas reksadana ETF di pasar sekunder.
Moleonoto mengatakan, reksadana ETF di pasar sekunder masih kurang diminati karena harga reksadana ETF di pasar sekunder tidak seefisien reksadana ETF di pasar primer. Namun, sejak BEI menerapkan peniadaan biaya transaksi beli bursa berserta biaya kliring (levy) ETF oleh investor di pasar sekunder, MI berharap bisa mendekatkan harga reksadana ETF di pasar primer dan sekunder.
Baca Juga: Dana kelolaan (AUM) industri reksadana tumbuh Rp 12,48 triliun di Oktober
Untuk membuat likuiditas di pasar sekunder ramai, tentunya membutuhkan peran market maker dari dealer partisipan. Robin Reagan, IT Product Manager Business Development IndoPremier Sekuritas mengatakan butuh lebih banyak diler partisipan agar pertumbuhan reksadana ETF optimal.
"Tidak banyak manajer investasi yang mau menginvestasikan teknologi agar bisa menjadi dealer partisipan, untungnya, IndoPremier sudah melangkah duluan," kata Robin.
Agar industri reksadana ETF makin berkembang dan makin banyak dinikmati investor ritel, Robin menyarankan regulator beri insentif lain tidak hanya di pasar sekunder melainkan di pasar primer. "Jika reksadana ETF juga bisa mendapatkan risk margin, ini akan mendukung pertumbuhan AUM ETF," kata Robin.
Baca Juga: Wow, jumlah investor baru di pasar modal sudah tumbuh 8 kali lipat dari target awal
Ke depan Robin juga berusaha menerbitkan reksadana ETF dengan harga yang lebih rendah agar investor ritel bisa menjangkau reksadana ETF.
"Harga NAV reksadana ETF selalu diĀ Rp 1.000, saya bisa turunin di Rp 500 bahkan by the time bisa Rp 100 atau Rp 10, tetapi ini tentu membutuhkan kerja sama dengan industri," kata Robin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News