Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja emiten kawasan industri mulai mendapat angin segar dari pengembangan ekosistem kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) yang dilakukan di lahan milik mereka.
PT Jababeka Tbk (KIJA) mengantongi mayoritas pendapatan prapenjualan alias marketing sales dari pembangunan ekosistem EV.
Sekretaris Perusahaan KIJA Mulyadi Suganda mengatakan, marketing sales yang dikumpulkan Jababeka per kuartal I 2025 sebesar Rp 1,19 triliun. Raihan itu setara dengan 34% dari target marketing sales KIJA di tahun 2025 yang sebesar Rp 3,5 triliun.
“Mayoritas berasal dari sektor manufaktur dan investor global, termasuk untuk data center dan industri EV,” ujarnya kepada Kontan, Jumat (18/7/2025).
Baca Juga: Ini Strategi KIJA, SSIA dan DILD Tarik Investasi Kawasan Industri di Semester II-2025
Kemudian ada pula PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA) yang lahannya telah dibeli oleh produsen mobil listrik BYD, pada tahun 2024. Pabrikan asal China itu membeli 108 hektar dari total luasan Subang Smartpolitan mencapai 1.600 hektare.
Dalam catatan Kontan, per semester I 2025, SSIA sendiri telah mencatatkan marketing sales sebesar 8,3 hektare dari proyek Subang Smartpolitan.
“Sementara, marketing sales dari Karawang sebesar 4,8 hektare,” kata VP of Investor Relations & Sustainability SSIA, Erlin Budiman, kepada Kontan.
Masuknya BYD di lahan SSIA itu mendorong Grup Djarum untuk berinvestasi di saham perseroan. Terbaru, perusahaan holding Grup Djarum, PT Dwimuria Investama Andalan, membeli seluruh sisa saham treasuri SSIA sebanyak 62,93 juta saham.
Transaksi itu terjadi pada tanggal 22 Juli 2025 dengan harga sebesar Rp 2.700 per saham yang ditentukan dari rerata harga saham SSIA dalam 90 hari terakhir. Melansir RTI, saham SSIA ditutup di level Rp 2.600 per saham pada akhir perdagangan hari ini (24/7).
Prospek dan rekomendasi saham
Sentimen positif lain berasal dari penurunan tarif impor Amerika Serikat (AS) dan suku bunga Bank Indonesia (BI). Namun, baik KIJA maupun SSIA sebenarnya masih belum menyambut terlalu positif soal kedua hal itu.
“Kami masih terus melihat dulu perkembangannya,” kata Erlin.
Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta mencermati, kinerja emiten kawasan industri di kuartal II 2025 bisa membaik jika dibandingkan kuartal sebelumnya.
Sebagai gambaran, SSIA melaporkan pendapatan sebesar Rp 1,06 triliun di kuartal I 2025, atau turun 2,1% dibandingkan periode yang sama sebelumnya Rp 1,09 triliun. Hal tersebut sedikit anomali, mengingat harga saham SSIA yang terbang hingga 93,31% sejak awal tahun 2025.
Sementara, KIJA membukukan pendapatan konsolidasi sebesar Rp 1,29 triliun di kuartal I 2025, tumbuh 87% dibandingkan dengan Rp 690 miliar pada periode sama tahun lalu. Saham KIJA malah belum ke mana-mana sejak awal tahun 2025 hingga penutupan perdagangan hari ini.
Sehingga, sentimen kenaikan harga saham para emiten kawasan industri tidak sepenuhnya didorong oleh alasan fundamental.
Di semester II nanti, kata Nafan, kinerja emiten kawasan industri bisa lebih baik dari semester I. Terutama, didorong oleh penurunan suku bunga BI yang bisa menurunkan biaya kredit dan sewa.
“Saham SSIA sudah terapresiasi dan digadang-gadang bakal masuk ke MSCI Small Cap,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (24/7).
Meskipun begitu, masih ada sentimen negatif dari dinamika perang dagang global. Alhasil, Nafan merekomendasikan sell on strength untuk SSIA.
Baca Juga: Strategi Emiten Kawasan Industri Menggali Potensi Investasi pada Semester II-2025
Analis Samuel Sekuritas, Ahnaf Yassar dan Prasetya Gunadi mengatakan, SSIA berpotensi masuk indeks MSCI Small Cap dalam pengumuman yang dijadwalkan pada 7 Agustus 2025 mendatang dan berlaku efektif mulai 27 Agustus 2025.
Peluang ini terbuka setelah saham SSIA mengalami lonjakan harga, salah satunya didorong oleh akuisisi 5,89% saham oleh Grup Djarum.
“Kenaikan harga tersebut telah mendorong kapitalisasi pasar free float SSIA menjadi US$ 618 juta, jauh melampaui ambang batas US$ 250 juta,” katanya dalam riset tanggal 22 Juli 2025.
Selain peluang masuk MSCI, proyeksi penjualan lahan SSIA juga menjadi daya tarik tersendiri. Perusahaan menargetkan penjualan lahan industri sekitar 60–70 hektare per tahun dalam beberapa tahun ke depan.
Samuel Sekuritas pun merekomendasikan beli untuk SSIA dengan target harga Rp 4.000 per saham.
Baca Juga: Simak Rekomendasi Saham Emiten Properti Kawasan Industri di Saat Pasar Bergejolak
Head of Research Kiwoom Sekuritas, Liza Camelia Suryanata melihat, penurunan suku bunga BI ke 5,25% bisa mendukung pembiayaan lahan dan proyek baru di industri kawasan industri. Sementara, penurunan Tarif Trump untuk Indonesia bisa membuka peluang ekspansi ekspor industri.
Selain itu, indikasi SSIA masuk MSCI Small Cap juga cukup kuat. Sebab, kapitalisasi free-float SSIA sudah jauh di atas syarat MSCI, serta likuiditas harian dan ATVR juga memenuhi syarat.
Hal itu berpotensi menarik dana asing karena bisa memperbesar kolam investasi, sekaligus mendongkrak valuasi saham SSIA. Saat ini, price to earning ratio (PER) SSIA sebesar -140,93x dan price to book value (PBV) ratio 2,2x.
Sentimen positif lain untuk emiten kawasan industri adalah naiknya permintaan layanan jasa, serta masuknya investasi di data center dan otomotif.
“Sentimen negatif dari potensi perlambatan global dan backlog jangka panjang,” ungkapnya.
Sayangnya, Liza belum memberikan rekomendasi saham untuk emiten kawasan industri.
Analis MNC Sekuritas Herditya Wicaksana melihat, pergerakan SSIA ada di level support Rp 2.530 per saham dan resistance Rp 2.680 per saham. Herditya merekomendasikan buy if break untuk SSIA dengan target harga Rp 2.730 – Rp 2.810 per saham.
Selanjutnya: Langkah Artajasa Menjaga Sistem Keamanan Ekonomi Digital
Menarik Dibaca: Langkah Artajasa Menjaga Sistem Keamanan Ekonomi Digital
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News