kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.759.000   -6.000   -0,34%
  • USD/IDR 16.600   -40,00   -0,24%
  • IDX 6.236   74,40   1,21%
  • KOMPAS100 884   15,16   1,75%
  • LQ45 697   15,99   2,35%
  • ISSI 196   0,74   0,38%
  • IDX30 366   8,49   2,37%
  • IDXHIDIV20 443   9,73   2,24%
  • IDX80 100   1,98   2,01%
  • IDXV30 106   1,12   1,07%
  • IDXQ30 121   2,95   2,50%

Ada Peluang dan Risiko bagi Emiten Kawasan Industri pada 2025, Ini Rekomendasi Analis


Minggu, 23 Maret 2025 / 20:39 WIB
Ada Peluang dan Risiko bagi Emiten Kawasan Industri pada 2025, Ini Rekomendasi Analis
ILUSTRASI. Miniatur kawasan Subang Smartpolitan yang dikembangkan PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA)


Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja para emiten kawasan industri diperkirakan meningkat, seiring potensi relokasi akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China. Namun, sejumlah tantangan diperkirakan dapat menghambat pertumbuhannya.

Potensi itu berkaca dari perang dagang pada periode 2018-2019 yang mendorong banyak perusahaan merelokasi usahanya ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Alhasil, permintaan kawasan industri meningkat.

Berdasarkan data Colliers, penjualan lahan industri khususnya di area Greater Jakarta yang meliputi Bogor, Tangerang, Karawang, Bekasi, dan Serang pada 2019 mengalami kenaikan hingga 380 ha. Adapun jika dilihat kinerja kawasan industri yang merupakan anggota Himpunan Kawasan Industri (HKI) secara nasional, penjualan di tahun 2019 mencapai 136.36 ha didominasi oleh sektor industri kimia, otomotif dan komponennya, data center, serta makanan dam minuman.

Senior Analyst Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas berpandangan, kenaikan penjualan lahan periode 2018-2019 didorong sentimen positif dari keberlanjutan program-program perbaikan dari pemerintah. Selain itu, ditambah dengan gelaran pemilu berjalan dengan aman dan lancar.

"Sehingga dengan kondisi tersebut, permintaan lahan bisa meningkat," ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (21/3).

Baca Juga: Puradelta Lestari (DMAS) Targetkan Marketing Sales Rp 1,81 Triliun di 2025

Untuk tahun ini, Sukarno berpandangan investor akan cenderung menunggu arah iklim investasi di Indonesia. Sebab, ketidakpastian ekonomi global dan juga kondisi domestik, terkait kebijakan-kebijakan yang ada masih membuat investor wait and see.

Investment Analyst Edvisor Profina Visindo Ahmad Iqbal Suyudi menambahkan bahwa persyaratan hukum yang tidak pasti, serta birokrasi yang Panjang menjadi salah satu tantangan Indonesia dalam mendapatkan investasi langsung asing. "Tanpa adanya investasi langsung asing, pertumbuhan penjualan pada emiten Kawasan industry cenderung lambat," sambungnya.

Analis BRI Danareksa Sekuritas Ismail Fakhri Suweleh dan Wilastita Muthia Sofi turut menyoroti hal serupa. Indonesia menghadapi tantangan dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, terutama karena masalah daya saing, ketidakpastian hukum, khususnya terkait hak kekayaan intelektual, persyaratan konten lokal (TKDN), hingga kasus penipuan.

Karenanya, kemampuan untuk memonetisasi arus masuk investasi asing (Foreign Direct Investment/FDI) akan bergantung pada strategi masing-masing perusahaan dalam menyiapkan landbank, infrastruktur, dan poin penjualan utama.

Baca Juga: Surya Semesta Internusa (SSIA) Targetkan Kenaikan Pendapatan 8% pada 2025

"Penyedia kawasan industri yang terdaftar beroperasi di lahan terbatas di Jawa, mereka menghadapi persaingan ketat meskipun diuntungkan oleh harga jual rata-rata (ASP) yang relatif kompetitif dan tingkat penyerapan lahan yang baik," paparnya.

Analis Indo Premier Sekuritas Imam Gunadi menyoroti, terkait dengan TKDN, menurutnya dapat menjadi pedang bermata dua di satu sisi. Satu sisi meningkatkan industri dalam negeri, tapi di sisi lain bisa menjadi barrier bagi perusahaan yang ingin lebih fleksibilitas dalam supply chain.

"Kualitas tenaga kerja menjadi perhatian, terutama dibandingkan dengan Vietnam yang memiliki tenaga kerja lebih murah atau Malaysia dengan kualitasnya," sebutnya.

Meski begitu, Imam menilai bahwa kawasan industri di Indonesia masih memiliki potensi pertumbuhan. Utamanya dari sektor-sektor yang didorong oleh insentif pemerintah seperti industri EV dan program yang hilirisasi pemerintah, seperti pembangunan smelter atau lainnya.

Dus, DMAS menjadi menjadi pilihannya karena saat ini perseroan mempunyai kinerja yang sangat baik, dari sisi profitability, solvency, liquidity, dan menarik secara valuasi. "DMAS sebagai pengelola kawasan industri dan tempat data center juga akan diuntungkan dengan fokus pemerintah di bidang AI yang berpotensi meningkatkan kebutuhan data center," sambugnnya.

Ismail dan Wilastita juga menjagokan SSIA karena kontribusinya yang lebih tinggi dari bisnis non-lahan, yang berpotensi membantu mengimbangi risiko lemahnya pra-penjualan. SSIA juga memiliki cadangan lahan yang lebih besar di Subang, yakni sekitar 1.550 ha, memposisikannya untuk menangkap peluang penjualan dalam jumlah besar.

Sementara Iqbal menilai BEST dan DMAS masih menarik untuk dicermati. Sebab, penjualan dan laba bersih untuk tahun 2024 mengalami pertumbuhan, memiliki tabungan yang masih cukup luas, serta pengembangan lahan ke sektor new industry.

Secara valuasi, Sukarno melihat emiten kawasan industri cukup menarik, mengingat penurunan harga cukup signifikan dan membuat harga menjadi relatif murah. "Adapun sahamnya ada KIJA, DMAS & SSIA yang secara PE di bawah 10 kali dan PBV di bawah 1 kali," tutupnya.

Baca Juga: Simak Prospek Kinerja Emiten Properti Kawasan Industri di Tahun Ini

Selanjutnya: Sentimen Global dan Perlambatan Ekonomi Tekan Kepercayaan Investor

Menarik Dibaca: Komunitas Kampus Saham Gencar Edukasi Investasi Saham Bertanggungjawab

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Procurement Economies of Scale (SCMPES) Brush and Beyond

[X]
×