Reporter: Dimas Andi, Dityasa H Forddanta | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembagian dividen final tahun buku 2017 sudah mulai. Dalam dua bulan ke depan, banyak emiten membagikan laba bersih tahun lalu kepada pemegang saham.
Meski jadi berita positif bagi pasar saham, di sisi lain, pembagian dividen juga bisa mempengaruhi kurs rupiah. Pasalnya, tak sedikit saham yang dimiliki investor asing. Investor asing tentu akan mengonversi dividen yang diperoleh ke valas dan membawa dana tersebut ke luar negeri.
Dari hasil penelusuran KONTAN, kurs rupiah kerap melemah di periode Maret-Mei dalam lima tahun terakhir. "Periode Maret-Mei, secara historis rupiah kerap melemah," tambah Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri kepada Kontan.co.id akhir pekan lalu, Jumat (6/4).
Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia Lana Soelistianingsih sependapat, volatilitas rupiah saat musim dividen sudah jadi siklus tahunan. Maklum, hampir 50% investor di bursa saham lokal merupakan investor asing. Mereka punya hak untuk membawa dananya ke luar negeri, tambah Lana.
Namun mulai tahun ini ada yang spesial. Dividen yang di bawa ke luar negeri diprediksikan tidak setinggi tahun-tahun lalu, berkat program amnesti pajak. Banyak konglomerasi yang membawa aset mereka di luar negeri ke Indonesia, termasuk memulangkan entitas usaha pemegang saham emiten dalam negeri.
KSEI mencatat, kepemilikan asing di saham akhir Maret lalu tinggal Rp 1.893 triliun, atau sekitar 49,19% dari total saham beredar. Sementara kepemilikan lokal mencapai Rp 1.955,28 triliun atau 50,81%.
Bandingkan dengan posisi di akhir 2017. Saat itu, kepemilikan asing mencapai Rp 1.967,43 triliun atau sekitar 51,30%. Sisanya milik lokal.
Salah satu konglomerasi yang membawa kembali dana masuk ke dalam negeri adalah Grup Djarum, pemilik PT Bank Central Asia Tbk (BBCA). Kini PT Dwimuria Investama Andalan jadi pemilik 54,94% saham BBCA, menggantikan Farindo Investment (Mauritius) Ltd.
Analis Semesta Indovest Aditya Perdana Putra menilai, permintaan dollar AS di musim dividen saat ini tak sebesar sebelumnya. Cuma, ia menilai kurs rupiah masih sulit menguat akibat kuatnya tekanan sentimen global.
Trade war masih mendorong pelaku pasar masuk ke dollar AS. Belum lagi, ada peluang Fed fund rate kembali naik pada rapat petinggi The Fed Juni nanti. "Skenario terburuk rupiah melemah menuju Rp 13.800 hingga Juni," jelas Ahmad Mikail, Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia.
Lana menilai, BI masih perlu melakukan intervensi rupiah di pasar. Sehingga, rupiah tak jatuh terlalu dalam di tengah pembagian dividen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News