kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Efek tax amnesty kurang kuat menghadapi implikasi musim dividen


Minggu, 08 April 2018 / 22:19 WIB
Efek tax amnesty kurang kuat menghadapi implikasi musim dividen
ILUSTRASI. Mesin Penghitung Uang di Bank


Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Implikasi negatif di balik pembagian dividen berupa melemahnya rupiah itu saat ini tak sekuat dulu berkat tax amnesty beberapa tahun lalu. Tak jarang emiten mengikuti program tersebut. Sehingga, porsi kepemilikan asingnya kini berkurang, bahkan hilang sama sekali.

Contohnya, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA). Medio 2016, ada transaksi tutup sendiri (crossing) saham BBCA senilai Rp 177 triliun. Crossing saham itu diindikasikan merupakan langkah Grup Djarum yang diduga ikut program tax amnesty.

Nama Farindo Investment (Mauritius) Ltd yang sebelumnya merupakan pemegang saham pengendali BBCA kini hilang. Sekarang, PT Dwimuria Investama Andalan menjadi pemilik 54,94% saham BBCA.

Analis Semesta Indovest Aditya Perdana Putra mengatakan, apa yang dilakukan Grup Djarum itu bisa meningkatkan permintaan rupiah di tengah musim dividen seperti sekarang ini. "Tapi, itu hanya bersifat jangka pendek," ujar Aditya kepada Kontan.co.id, Minggu (8/4).

Efeknya juga tak cukup kuat. Sebab, faktor pelemahan rupiah bukan hanya karena dividen, tapi juga faktor lain baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.

Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee menambahkan, pembayaran utang swasta terutama yang berdenominasi dollar AS mulai menggeliat dalam waktu dekat ini. Bisnis juga mulai berjalan. Tak jarang perusahaan butuh belanja modal dalam kurs dollar AS.

Selain itu, isu trade war juga masih mendorong permintaan dollar AS meningkat. Belum lagi soal kemungkinan kenaikan Fed rate Juni nanti. Rilis data makro terutama surplus neraca perdagangan beberapa bulan kedepan diharapkan bisa menetralisir tekanan itu.

"Kalau tidak surplus, berat bagi rupiah untuk menguat. Skenario terburuknya rupiah melemah menuju Rp 13.800 hingga Juni," jelas Ahmad Mikail, Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia.

Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia, Lana Soelistianingsih berpendapat, Bank Indonesia (BI) seharusnya juga perlu melakukan upaya agar rupiah dapat menguat terlebih dahulu sebelum siklus pembagian dividen benar-benar berlangsung.

Hal ini supaya rupiah tidak terkoreksi terlalu dalam. “Yang penting BI bisa mengatur jadwal intervensi rupiah di pasar,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×