Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jika sepanjang tahun lalu kinerja aset kripto mendominasi kinerja instrumen konvensional, lain halnya dengan yang terjadi tahun ini. Sepanjang tahun ini, instrumen konvensional seperti saham dan emas justru punya kinerja yang apik, di saat kinerja aset kripto malah jeblok.
Bahkan, kinerja saham dan emas terbilang dominan sepanjang bulan Februari kemarin. Si kuning berhasil mencatatkan penguatan hingga 6,46% secara bulanan. Hal ini tidak terlepas dari sikap para investor yang beralih ke safe haven ketika perang meletus di Eropa Timur, antara Rusia dan Ukraina.
Baca Juga: IHSG Menguat 0,94%, di Sesi I Selasa (1/3), Beli Bersih Asing Masih Kokoh
Kendati begitu, pasar saham masih bisa catatkan kinerja solid di tengah kecamuk perang tersebut dengan naik 3,88%. Tak hanya itu, IHSG juga berhasil menembus rekor all time high di level 6.929,91 sebelum akhirnya ditutup di level 6.920,06 pada 23 Februari. Investor asing juga tercatat melakukan pembelian bersih pada bulan Februari sebesar Rp 17,4 triliun.
Para analis sepakat, dalam jangka pendek, perang antara Rusia-Ukraina ini justru bisa menjadi katalis positif untuk pasar saham. Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana menjelaskan, Indonesia tidak terlibat langsung dengan perang tersebut sehingga dampak negatifnya sangat terbatas.
Bahkan, akibat perang tersebut, harga beberapa komoditas seperti batubara, minyak sawit, hingga nikel justru meningkat. Alhasil, ini untungkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, baik untuk pemerintah melalui ekspornya ataupun pebisnis dan masyarakatnya. Ia bilang, hal ini bisa mendorong optimisme pertumbuhan ekonomi.
“Oleh karena itu, investor asing juga malah banyak yang masuk karena optimistis dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan,” kata Wawan kepada Kontan.co.id, Jumat (25/2).
Baca Juga: Rekomendasi Saham di Perdagangan Perdana Maret 2022, Ini Pilihannya
Apalagi, sepanjang Februari kemarin, data-data ekonomi Indonesia juga positif seperti angka inflasi dan impor yang mulai naik, serta Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang tinggi. Wawan memandang hal ini semakin memperkuat fundamental Indonesia ke depan sehingga membuat efek dari perang tersebut cenderung terbatas.
Namun, Wawan tak memungkiri beberapa investor memang flight to safety ke aset seperti emas yang tercermin dari penguatan harganya dalam beberapa hari terakhir. Namun, ia yakin, selama pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap tumbuh, serta perang tidak berkepanjangan, kinerja saham akan terus berada pada momentum positif.
Senada, Head of Business Development Division Henan Putihrai Asset Management Reza Fahmi kenaikan harga komoditas akibat perang adalah katalis untuk pasar saham. Selain itu, solidnya laporan keuangan emiten juga mendorong aksi beli investor asing berpeluang menjadi sentimen positif. Dengan masih akan rilisnya laporan keuangan emiten lain di bulan Maret, sentimen positif tersebut diekspektasikan masih akan berlanjut untuk IHSG.
Baca Juga: Harga Emas Turun Tipis, Konflik Rusia Masih Menjadi Penopang Utama
Terkait imbas perang Rusia-Ukraina, Reza mengamati bahwa para investor justru menanggapinya dengan cermat. Hal ini tercermin dari banyak investor yang memanfaatkan momentum koreksi untuk menjadi aksi beli.
“Karena kalau kita lihat historical dari beberapa tahun lalu, adanya war ini tidak terlalu berpengaruh kepada market. Contohnya seperti ketegangan di Libya pada tahun 2015, IHSG bisa naik 7,3% dalam enam bulan, begitupun dengan ketegangan di Syria pada 2014 di mana IHSG naik 4.3%,” imbuh Reza.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, ia optimistis tren positif IHSG yang juga ditopang oleh pembelian investor asing akan kembali berlanjut pada Maret. Berdasarkan hitungannya, jika IHSG bisa melewati level resistance 6.950, maka akan ada potensi IHSG kembali menembus all time high baru di atas level 7.000.
Baca Juga: USDC dan BUSD Dinilai Sebagai Pilihan Stablecoin Paling Aman Saat Ini
Reza menyarankan para investor agar bisa memanfaatkan momentum positif ini dengan melakukan diversifikasi dana pada instrumen saham dan reksadana. Misalnya, dengan 25% disimpan di reksadana berbasis pasar uang. Lalu 25% sisanya digunakan untuk melakukan dollar cost averaging.
“50% sisanya bisa disimpan pada uang tunai untuk momentum masuk ke instrumen saham atau reksadana saham ketika ada waktu yang tepat,” kata Reza.
Sementara Wawan meyakini, untuk sepanjang tahun ini, guna memanfaatkan kinerja portofolio, investor bisa memperbanyak porsi di keranjang saham. Ia merekomendasikan, 40% portofolio di tempatkan di instrumen berbasis saham. Lalu 40% lagi di instrumen obligasi untuk stabilitas kinerja. Serta 20% sisanya di instrumen berbasis pasar uang mengingat ada potensi kenaikan suku bunga pada tahun ini.
Baca Juga: Safe Haven Bisa Jadi Pilihan Saat Ada Gejolak Geopolitik
Sementara untuk outlook kinerja instrumen obligasi, keduanya meyakini sentimen kenaikan suku bunga The Fed pada Maret ini akan jadi perhatian pasar. Kendati begitu, selama The Fed tidak menaikkan secara agresif, pasar dinilai sudah priced-in terlebih dahulu dengan sentimen tersebut.
Pada akhirnya, pelemahan yang terjadi di pasar obligasi dinilai tidak signifikan. Terlebih lagi, dengan permintaan investor domestik yang tetap kuat dan bisa menyerap SBN yang dijual oleh asing, bisa semakin meredam pelemahan agar tidak signifikan.
Jika instrumen konvensional berkinerja apik, kinerja aset kripto justru terpuruk dengan Bitcoin dan Ethereum yang sama-sama sudah melemah 18,47% dan 29,06% sepanjang tahun ini. CEO Triv Gabriel Rey menyebut hal ini merupakan kombinasi dari sentimen soal sikap The Fed, inflasi AS yang tinggi, serta terjadinya perang antara Rusia-Ukraina.
Baca Juga: Harga Minyak Masih Menguat, Efek Sanksi Barat Terhadap Rusia
“Dengan berbagai ketidakpastian, aset berisiko seperti Bitcoin sudah pasti akan jadi yang dilepas pertama seiring investor cari aset yang lebih aman. Tak mengherankan kinerja aset kripto pun tersungkur,” ujar Gabriel.
Dengan kondisi perang yang belum bisa diprediksi kapan berakhirnya, Gabriel menyebut melakukan hedging ke stablecoin bisa dijadikan pilihan investor kripto. Namun, ia juga cukup yakin ketika harga sudah turun dalam, akan ada potensi recovery pada harga Bitcoin. Ia pun mengingatkan bahwa melakukan Cost Dollar Averaging juga bisa jadi pilihan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News