Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Wahyu T.Rahmawati
Terkait imbas perang Rusia-Ukraina, Reza mengamati bahwa para investor justru menanggapinya dengan cermat. Hal ini tercermin dari banyak investor yang memanfaatkan momentum koreksi untuk menjadi aksi beli.
“Karena kalau kita lihat historical dari beberapa tahun lalu, adanya war ini tidak terlalu berpengaruh kepada market. Contohnya seperti ketegangan di Libya pada tahun 2015, IHSG bisa naik 7,3% dalam enam bulan, begitupun dengan ketegangan di Syria pada 2014 di mana IHSG naik 4.3%,” imbuh Reza.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, ia optimistis tren positif IHSG yang juga ditopang oleh pembelian investor asing akan kembali berlanjut pada Maret. Berdasarkan hitungannya, jika IHSG bisa melewati level resistance 6.950, maka akan ada potensi IHSG kembali menembus all time high baru di atas level 7.000.
Baca Juga: USDC dan BUSD Dinilai Sebagai Pilihan Stablecoin Paling Aman Saat Ini
Reza menyarankan para investor agar bisa memanfaatkan momentum positif ini dengan melakukan diversifikasi dana pada instrumen saham dan reksadana. Misalnya, dengan 25% disimpan di reksadana berbasis pasar uang. Lalu 25% sisanya digunakan untuk melakukan dollar cost averaging.
“50% sisanya bisa disimpan pada uang tunai untuk momentum masuk ke instrumen saham atau reksadana saham ketika ada waktu yang tepat,” kata Reza.
Sementara Wawan meyakini, untuk sepanjang tahun ini, guna memanfaatkan kinerja portofolio, investor bisa memperbanyak porsi di keranjang saham. Ia merekomendasikan, 40% portofolio di tempatkan di instrumen berbasis saham. Lalu 40% lagi di instrumen obligasi untuk stabilitas kinerja. Serta 20% sisanya di instrumen berbasis pasar uang mengingat ada potensi kenaikan suku bunga pada tahun ini.
Baca Juga: Safe Haven Bisa Jadi Pilihan Saat Ada Gejolak Geopolitik
Sementara untuk outlook kinerja instrumen obligasi, keduanya meyakini sentimen kenaikan suku bunga The Fed pada Maret ini akan jadi perhatian pasar. Kendati begitu, selama The Fed tidak menaikkan secara agresif, pasar dinilai sudah priced-in terlebih dahulu dengan sentimen tersebut.
Pada akhirnya, pelemahan yang terjadi di pasar obligasi dinilai tidak signifikan. Terlebih lagi, dengan permintaan investor domestik yang tetap kuat dan bisa menyerap SBN yang dijual oleh asing, bisa semakin meredam pelemahan agar tidak signifikan.
Jika instrumen konvensional berkinerja apik, kinerja aset kripto justru terpuruk dengan Bitcoin dan Ethereum yang sama-sama sudah melemah 18,47% dan 29,06% sepanjang tahun ini. CEO Triv Gabriel Rey menyebut hal ini merupakan kombinasi dari sentimen soal sikap The Fed, inflasi AS yang tinggi, serta terjadinya perang antara Rusia-Ukraina.
Baca Juga: Harga Minyak Masih Menguat, Efek Sanksi Barat Terhadap Rusia
“Dengan berbagai ketidakpastian, aset berisiko seperti Bitcoin sudah pasti akan jadi yang dilepas pertama seiring investor cari aset yang lebih aman. Tak mengherankan kinerja aset kripto pun tersungkur,” ujar Gabriel.
Dengan kondisi perang yang belum bisa diprediksi kapan berakhirnya, Gabriel menyebut melakukan hedging ke stablecoin bisa dijadikan pilihan investor kripto. Namun, ia juga cukup yakin ketika harga sudah turun dalam, akan ada potensi recovery pada harga Bitcoin. Ia pun mengingatkan bahwa melakukan Cost Dollar Averaging juga bisa jadi pilihan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News