Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Emiten sawit alias crude palm oil (CPO) tampaknya bakal lumayan sibuk di sisa tahun 2025. Sebab, sentimen global diprediksi bakal menyetir kinerja mereka di paruh kedua tahun ini.
Sentimen tersebut salah satunya berasal dari penurunan tarif impor Amerika Serikat (AS) alias tarif Trump, dari semula 32% menjadi 19% untuk Indonesia.
Tarif impor untuk produk Indonesia ini lebih rendah dibandingkan tarif yang diberlakukan untuk Malaysia sebesar 25%.
Sebagai gambaran, Malaysia adalah satu-satunya negara kompetitor Indonesia dalam ekspor CPO. Ini berarti ada peluang besar bagi produk CPO Indonesia di pasar ekspor AS.
Meskipun begitu, PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) mengaku penurunan tarif Trump tak berdampak langsung berdampak langsung terhadap operasional dan kinerja perseroan. Sebab, seluruh penjualan minyak kelapa sawit SGRO difokuskan kepada pasar domestik.
“Namun, penurunan tarif impor ke AS dapat berdampak terhadap daya saing produk-produk CPO Indonesia di pasar global,” ujar Head of Investor Relations SGRO, Stefanus Darmagiri, kepada Kontan, Selasa (1/7).
Baca Juga: Negosiasi Masih Berlangsung, Indonesia Ingin CPO Hingga Nikel Bebas Tarif dari AS
Prospek dan Rekomendasi Saham
Analis Maybank Sekuritas Indonesia, Jeffrosenberg Chenlim mengatakan, kesepakatan dagang Indonesia-AS yang membuat penurunan Tarif Trump bisa menggenjot potensi ekspor Indonesia.
Meskipun begitu, kesepakatan dagang Indonesia-AS bukan berarti tanpa risiko. Sebab, tarif baru di 19% itu artinya naik hampir dua kali lipat dari tarif sebelumnya, yaitu 10%.
“Alhasil, margin para emiten dari industri padat karya bisa sangat tergerus, termasuk emiten CPO,” katanya dalam riset tanggal 18 Juli 2025.
Analis Panin Sekuritas, Cliff Nathaniel mengatakan, penurunan tarif impor AS menjadi 19% berpotensi menjadi katalis positif, mengingat ekspor CPO ke AS mencapai 2,2 juta ton per tahun 2024. Jumlah tersebut setara dengan sekitar 7,5% dari total ekspor CPO Indonesia di tahun lalu.
Saat ini, ekspor CPO produksi Indonesia ke AS berada di peringkat kelima, di bawah negara lain, seperti China dan India. Selain itu, pangsa pasar ekspor minyak sawit Indonesia ke pasar AS juga relatif tinggi sekitar 89%.
“Tarif impor yang lebih rendah dari Malaysia ini juga berpotensi menurunkan beban ekspor dan meningkatkan daya saing ekspor sawit Indonesia,” katanya kepada Kontan, Jumat (18/7).
Menurut Cliff, sejumlah sentimen global masih akan terus membayangi kinerja emiten CPO.
“Regulasi EUDR, pertumbuhan ekonomi China, dan stok CPO India yang mulai menipis merupakan beberapa faktor yang masih harus dicermati,” katanya. Cliff pun belum memberikan rekomendasi saham untuk emiten CPO.
Head of Research Kiwoom Sekuritas Liza Camelia Suryanata mencermati, Tarif AS sebesar 19% untuk Indonesia yang lebih rendah dibanding Malaysia, membuka peluang peningkatan ekspor ke AS.
“Meskipun kontribusinya saat ini masih sekitar 2–3% dari total ekspor CPO RI,” ujarnya kepada Kontan, Jumat (18/7).
Ke depan, ada beberapa sentimen positif lain yang memengaruhi kinerja emiten CPO. Seperti, program biodiesel domestik B40, Perjanjian IEU CEPA yang membuka peluang penghapusan tarif ekspor CPO ke Eropa hingga 0%, El Nino yang mendukung harga rata-rata MYR 4.000 per ton untuk semester I 2025, serta melemahnya rupiah terhadap dolar AS.
“Hal ini terutama menguntungkan emiten berbasis ekspor seperti PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG), dan PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP),” ungkapnya.
Sementara, sentimen negatifnya adalah regulasi EUDR, pungutan ekspor dan aturan Harga Referensi CPO (domestik), kenaikan biaya produksi, dan tekanan ESG dan akses pendanaan global.
Baca Juga: Harga Referensi CPO Naik 2,51% pada Juli 2025, Dipengaruhi Permintaan dari India
Di sisi lain, Direktur PT Rumah Para Pedagang, Kiswoyo Adi Joe mengatakan, Tarif Trump tak terlalu memengaruhi kinerja emiten CPO, karena pelanggan utama Indonesia berasal dari China dan India.
Di semester II, emiten yang bakal jadi jawara adalah mereka yang memiliki tanaman yang berusia produktif di kisara 15-20 tahun, yaitu PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG) dan DSNG.
Penjualan mereka memang tidak ada yang ekspor, tapi harga jual tetap tergantung oleh harga global. “Harga global CPO bergerak mengikuti harga kedelai dan jagung,” ujarnya kepada Kontan, Jumat (18/7).
Melansir Trading Economics pukul 20:00 WIB, harga CPO berada di MYR 4.316 per ton, sudah naik 5,22% dalam sebulan terakhir.
Kiswoyo pun merekomendasikan TAPG, DSNG, LSIP, dan AALI dengan target harga Rp 1.300 per saham, Rp 1.000 per saham, Rp 1.500 per saham, dan Rp 7.500 per saham.
Selanjutnya: Pemegang Saham Pengendali Bukit Uluwatu (BUVA) Borong 89,96 Juta Saham
Menarik Dibaca: IPOT Resmikan Platform Investasi Kolaborasi dengan Profesional
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News