kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.286.000   8.000   0,35%
  • USD/IDR 16.722   27,00   0,16%
  • IDX 8.242   -33,17   -0,40%
  • KOMPAS100 1.150   -4,66   -0,40%
  • LQ45 842   -2,15   -0,25%
  • ISSI 285   -0,47   -0,16%
  • IDX30 441   -2,54   -0,57%
  • IDXHIDIV20 511   -0,99   -0,19%
  • IDX80 129   -0,47   -0,36%
  • IDXV30 136   -1,17   -0,85%
  • IDXQ30 141   -0,13   -0,10%

Selain Tekanan Eksternal, Kondisi Fiskal Juga Jadi Sentimen Pemicu Pelemahan Rupiah


Selasa, 04 November 2025 / 20:26 WIB
Selain Tekanan Eksternal, Kondisi Fiskal Juga Jadi Sentimen Pemicu Pelemahan Rupiah
ILUSTRASI. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus berlanjut dan semakin dalam. KONTAN/Cheppy A. Muchlis/29/09/2025


Reporter: Vatrischa Putri Nur | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus berlanjut dan semakin dalam. Selasa (4/11/2025), kurs rupiah di pasar spot melemah 0,19% menjadi Rp 16.708 per dolar AS. Ini adalah posisi rupiah paling lemah sejak 29 September 2025.

Kurs rupiah Jisdor melemah 0,36% menjadi Rp 16.724 per dolar AS. Kurs rupiah Jisdor berada di level paling lemah sejak 29 September 2025 atau dalam lebih dari enam pekan terakhir.

Pelemahan nilai tukar rupiah ini ditengarai berbagai macam sentimen, salah satunya ada di fundamental ekonomi yang lemah, terutama terkait tekanan fiskal.

Perlu diketahui, jika mundur ke periode September lalu saat indeks dolar AS (DXY) melemah ke kisaran 96 sampai 97, posisi rupiah yang harusnya menguat, malah melemah. Padahal, ketika indeks dolar AS melemah, semua mata uang seharusnya lebih menguat dari dolar AS.

Baca Juga: Begini Proyeksi Rupiah Jelang Rilis Data Pertumbuhan Ekonomi pada Rabu (5/11/2025)

Menurut pandangan Ekonom Bright Institute, Yanuar Rizky, sentimen pelemahan rupiah pada bulan September hingga Oktober ada dua, yakni karena pasar menilai Bank Indonesia (BI) bersifat populis alias mengikuti apa keinginan Pemerintah. 

Dalam hal ini, seperti misalnya ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa banyak menyenggol mengenai tingkat suku bunga acuan, BI lantas turunkan BI rate. Ini memicu volatilitas saham juga meningkat.

“Dengan koreksi turun lalu naik lagi, ini menandakan pasar mengompensasi penurunan BI rate dengan menaiklan yield di saham, juga di SBN. Ini berdampak ke rupiah yang melemah saat harusnya menguat karena indeks dolar AS melemah,” kata Yanuar kepada Kontan, Selasa (4/10/2025).

Sentimen kedua, pasar juga menilai bahwa Indonesia meremehkan stabilitas. Hal ini tampak ketika rasio devisa BI semakin mendominasi ke SBN (Surat Berharga Negara).

“Sekitar 86%-90% rasio aset BI adalah SBN. Tidak menambah pembelian emas seperti banyak dilakukan bank sentral emerging market lain. Dengan ini, jelas pasar membaca BI memangku stabilitas makro,” lanjut Yanuar.

Baca Juga: Tertekan Berbagai Sentimen, Rupiah Diramal Lanjut Melemah, Rabu (5/11)

Menurutnya, hitungan ini bisa menjadi bias. Sebab, saat Pemerintah mengambil dana sebesar Rp 200 triliun di sisi liabilitas (sumber dana) neraca BI dari rekening pemerintah ke Himbara, maka pasar membaca sisi aset harus di-rebalancing dengan pengurangan itu.

Dengan itu ada kemungkinan nanti BI akan melepas SBN-nya sebagian, padahal di satu sisi BI juga menopang revolving surat utang jatuh tempo yang besar. Kondisi ini menyebabkan shorting bond yang menambah berat intervensi BI di pasar spot dan pasar non-deliverable forward (NDF) rupiah atas dolar AS.

Selain dua sentimen di atas ada juga faktor eksternal. Yanuar memandang, kondisi hari ini juga ditambah dengan adanya sinyal The Fed yang berencana menghentikan normalisasi neracanya pada Desember. Selain itu, ada pula sentimen potensi penurunan suku bunga Fed.

Saat ini, indeks dolar AS (DXY) juga telah naik lagi ke kisaran 100. Merujuk Trading Economics pada Selasa (4/11/2025) pukul 19.15 WIB, DXY menguat 0,21% jadi 100,087. Maka, normalnya semua mata uang akan melemah, ini tentu makin melemahkan rupiah.

Soal ini, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menyebut pelemahan rupiah ini salah satu faktornya ialah investor asing di pasar obligasi pemerintah yang masih outflow. Ada pun menurut David, faktor yang menyebabkan rupiah belum bisa menguat hingga saat ini ialah probabilitas penurunan suku bunga Fed pada bulan Desember.

“Probabilitas penurunan suku bunga Fed di bulan Desember turun dari 90% ke 60%, sehingga index dolar AS cenderung menguat akhir-akhir ini,” kata David.

Ke depan, David memproyeksi rupiah akan bergerak di kisaran Rp 16.650 – Rp 16.750 per dolar AS dalam jangka pendek.

Di sisi lain, Presiden Komisaris HFX Internasional Berjangka, Sutopo Widodo menyampaikan bahwa pelemahan rupiah hari ini sebagian besar didorong oleh faktor eksternal yang kuat, yaitu penguatan tajam pada indeks dolar AS yang mencapai level tertinggi tiga bulan. 

Sentimen ini muncul setelah pejabat Federal Reserve (Fed) mengisyaratkan kehati-hatian terhadap penurunan suku bunga lebih lanjut di bulan Desember.

Kata Sutopo, pernyataan dari Gubernur Cook dan Presiden Goolsbee secara efektif memangkas ekspektasi pasar terhadap pelonggaran agresif, menyebabkan para pedagang kembali memutar taruhan mereka, yang pada pasangannya membuat dolar AS makin menarik. 

“Hal ini menciptakan arus modal keluar dari aset berisiko seperti Rupiah, yang dikenal sebagai sentimen risk-off,” kata Sutopo.

Permintaan dolar AS memang cenderung meningkat saat ini, terutama didorong oleh dua alasan. Pertama, sentimen risk-off global meningkatkan permintaan untuk aset aman (safe haven), dan dolar AS adalah mata uang safe haven utama di dunia. 

Baca Juga: Kinerja Adaro Minerals (ADMR) Dipengaruhi Harga Komoditas, Simak Rekomendasi Sahamnya

Kedua, secara domestik di Indonesia, permintaan dolar AS meningkat untuk kebutuhan transaksi seperti pembayaran utang luar negeri baik pemerintah maupun korporasi, impor barang-barang penting seperti bahan baku industri, serta kebutuhan repatriasi dividen atau pengambilan keuntungan oleh investor asing menjelang akhir tahun. 

Hingga saat ini menurut Sutopo, rupiah masih sulit menguat karena disparitas suku bunga yang menyempit dan menembus global yang tinggi. 

“Meskipun Bank Indonesia (BI) mengisyaratkan ruang pelonggaran ke depan, sinyal dari The Fed justru menahan Dolar di level tinggi, mengurangi daya tarik imbal hasil aset rupiah relatif terhadap aset dolar,” lanjut Sutopo.

Secara teknikal, rupiah telah menembus resistensi psikologis. Dengan berlanjutnya sentimen penguatan dolar, proyeksi rupiah berpotensi menguji kisaran Rp 16.750 hingga Rp 16.800 per dolar AS dalam jangka pendek.

Selanjutnya: Glencore Terancam Tutup Smelter Horne, Produksi Tembaga Global Bisa Kian Ketat

Menarik Dibaca: Hujan Lebat dan Angin Kencang, Cek Peringatan Dini Cuaca Besok (5/11) di Jabodetabek

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×