Reporter: Kenia Intan | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah indeks sektoral yang mayoritas memerah sejak awal tahun, indeks sektor pertambangan menjadi satu-satunya yang menghijau. Kinerja indeks pertambangan juga lebih baik dibanding indeks harga saham gabungan (IHSG) yang masih tertekan 7,76%.
Mengutip data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), sejak awal tahun indeks sektor pertambangan menguat hingga 13,48%. Kinerjanya melebihi indeks sektor barang konsumen yang tertekan 8,62% dan sektor keuangan yang melorot 3,39%. Adapun penurunan terdalam dirasakan oleh sektor properti, real estate, dan kontruksi gedung yang tertekan hingga 24,34%.
CIO of Star Asset Management Erindra Krisnawan menjelaskan, prospek sektor pertambangan masih menarik tahun depan. Menurut dia, sketor pertambangan akan terdorong sentimen makro yang positif.
Misalnya, adanya potensi perbaikan permintaan setelah pandemi Covid-19. Pasokan barang akan menyesuaikan permintaan, sehingga harga dari masing-masing komoditas pun berpeluang meningkat. Selain itu, mayoritas bank sentral di seluruh dunia mengeluarkan pernyataan untuk mempertahankan suku bunga rendah dan quantitative easing.
Kemenangan Joe Biden dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) akan berkontribusi positif karena dolar AS diprediksi akan cenderung tertekan. Di sisi lain, Joe Biden dianggap memiliki kebijakan perdagangan yang lebih bersahabat, sehingga akan berpengaruh terhadap perdagangan komoditas.
Baca Juga: Perbaikan data tenaga kerja AS turut menyokong penguatan kurs rupiah
Adapun salah satu arah pemerintahan Joe Biden ketika memimpin AS nanti adalah green industries. Erindra bilang, ini akan memberi angin segar bagi industri-industri tekait, misalnya electric vehicle (EV). Dengan demikian, komoditas nikel menjadi lebih atraktif karena diperlukan menjadi bahan baku baterai EV.
Akan tetapi, menurut Erindra untuk saat ini harga komoditas nikel sudah priced-in. Harga nikel sudah pulih karena adanya permintaan dari China untuk industri stainless steel. Asal tahu saja, 75% dari penyerapan nikel itu digunakan untuk industri stainless steel. Adapun permintaan nikel untuk baterai baru akan benar-benar terwujud di tahun 2024 hingga 2025.
"Siap-siap dalam short term ini masih akan volatile," kata Erindra dalam webinar Indonesia Investment Education (IIE) yang digelar secara virtual, Sabtu (6/12). Dia menambahkan, secara jangka pendek harga nikel akan berada di level baru US$ 15.000 hingga US$ 16.000 per ton. Di tahun 2021 harga komoditas nikel berpeluang turun ke level US$ 14.000 per ton.
Senior Analis PT Indo Premier Sekuritas Timothy Handerson dalam kesempatan yang sama tidak memungkiri, green industries memang akan berpengaruh terhadap sektor pertambangan khususnya yang berbasis fosil seperti batubara. Akan tetapi yang perlu dicermati saat ini adalah proses transisi tersebut akan memakan waktu yang lama.
Baca Juga: Harga batubara berpotensi terus naik hingga US$ 80 per ton
Untuk tahun depan, sektor pertambangan batubara masih punya peluang terus membaik. Asal tahu saja, pada bulan Mei 2020 harga batubara sempat menyentuh level terendahnya yakni US$ 50 per ton. Akan tetapi saat ini harganya sudah naik kurang lebih 50% menjadi US$ 74 per ton.
Pergerakan harga yang signifikan itulah yang mendorong harga-harga saham pertambangan rally dalam beberapa waktu terakhir. "Ada winter seasonality, di waktu yang sama suplai China lumayan ketat," ungkap Timothy dalam kesempatan yang sama.
Dia menambahkan, jika musim dingin di China kali ini berlangsung lama dan berat, maka harga batubara berpotensi terkerek lagi. Jika yang terjadi justru sebaliknya, maka harga batubara kemungkinan akan berada di kisaran US$ 70 per ton hingga US$ 75 per ton.
Di sisi lain, kebijakan China mengenai kebijakan impor batubara menjadi faktor lain yang patut dipertimbangkan. Indonesia dan Australia merupakan pengekspor batubara terbesar di kawasan Asia Pasifik. Adapun China merupakan salah satu pasar batubara terbesar, setiap tahunnya bisa mengimpor 270 juta ton hingga 300 juta ton batu bara. Hampir 50% batubara yang diimpor China itu berasal dari Indonesia.
Baca Juga: Menguat 40,59% di kuartal keempat, IDX BUMN20 diprediksi naik lagi tahun depan
Sementara itu, adanya vaksin Covid-19 diprediksi akan memulihkan ekonomi dunia. Sehingga, negara-negara tujuan ekspor Indonesia selain China seperti India dan negara-negara ASEAN akan membaik. Oleh karenanya, diprediksi volume ekspor batubara tahun 2021 bisa meningkat hingga 10%. Memang belum kembali seperti tahun 2019, akan tetapi setidaknya sudah meningkat.
Timothy juga mengamati, ada beberapa regulasi sepanjang tahun 2020 yang berdampak positif terhadap sektor pertambangan. Misalnya, amanden UU Minerba yang disahkan pada Mei 2020. Poin yang menjadi perhatian adalah sentralisasi otoritas dialihkan dari pemerintahan daerah ke pemerintahan pusat.
Adanya sentralisasi ini akan berdampak positif karena bisa memperbaiki rantai pasokan batubara. Ada juga perpanjangan lisensi untuk penambang-penambang besar karena adanya kepastian kelanjutan contract of work (COW) dan coal contract of work (CCOW).
Kebijakan lain yang mempengaruhi adalah Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang menerapkan 0% royalty rate untuk hilirisasi batubara. Ini memberikan sentimen positif bagi produsen batubara yang memiliki pipeline proyek hilirisasi, misalnya saja PTBA ataupun salah satu perusahaan Grup Bakrie yang tengah menggarap proyek di Kalimantan.
Di sisi lain, adanya penerapan PPN terhadap komoditas batubara menjadi poin yang masih dalam proses diskusi panjang untuk penerapannya. Sebab, tidak hanya berpengaruh terhadap penambang batubara tetapi juga power plant users maupun pembangkit listrik yang memasok ke PLN.
Baca Juga: IHSG bepotensi menguat pada Senin (7/12)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News