Reporter: Chelsea Anastasia | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Normalisasi pertumbuhan jadi katalis menurunnya pendapatan PT Summarecon Agung pada kuartal I-2025. Setelah mencatat kinerja tinggi pada 2022–2024, laju pertumbuhan condong melambat. Agar tetap bisa ekspansi, PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) memperkuat cadangan lahan dengan mengakuisisi lahan di Serpong, Banten dan Bekasi, Jawa Barat.
Nilai dari keputusan ini mencapai Rp 3,8 triliun, yang meliputi lahan seluas 121,7 hektare di Serpong dan 3,35 hektare di Bekasi. Lahan di Bekasi dibeli senilai Rp 3,65 triliun atau 3 juta per meter persegi. Sementara itu, lahan tambahan di Serpong dibeli seharga Rp 154 miliar alias sekitar Rp 4 juta per meter persegi.
Akuisisi lahan oleh perseroan dilakukan melalui skema Joint Venture (JV) dengan pembayaran dicicil terhitung mulai Agustus 2025 hingga 2028. Estimasi kebutuhan dana tahunan mencapai Rp 950 miliar.
Analis Maybank Sekuritas, Kevin Halim melihat, langkah ini memiliki arah kecenderungan sedikit negatif. Sebab, level harga akuisisi berada di atas land bank cost atau biaya rata-rata perolehan tanah perseroan. Sebelumnya, land bank cost tercatat sebesar Rp 397.000 per meter persegi.
Baca Juga: PJAA Siapkan Sejumlah Ekspansi pada Semester II 2025, Simak Rekomendasi Sahamnya
Alhasil, harga pembelian lahan baru ini setara 8–10 kali lipat dari biaya tanah eksisting perusahaan. Berangkat dari situ, Maybank Sekuritas menurunkan prediksi laba SMRA tahun ini ke Rp 839 miliar dari sebelumnya Rp 926 miliar.
“Kami menurunkan proyeksi laba sebesar 9–14% karena meningkatnya utang yang digunakan untuk membiayai pembelian tersebut,” papar Kevin dalam keterangan resmi 1 Juli 2025.
Guna mendanai transaksi ini, SMRA diproyeksikan akan menambah utang hingga Rp 1,5 triliun di tengah tingginya belanja modal atau capex untuk ekspansi bisnis.
Meskipun akuisisi ini dinilai dapat menekan margin, dia mengatakan, dampaknya belum akan terasa dalam waktu dekat. Ini mengingat lahan tersebut masih dialokasikan untuk pengembangan kawasan hunian atau township di masa depan.
Selain itu, menurut Kevin, akuisisi ini tetap berdampak positif terhadap nilai aset bersih (RNAV) perusahaan. Ini diperkirakan naik 5% menjadi Rp 57 triliun. “Pengakuan pendapatan baru diperkirakan terjadi sekitar dua tahun setelah monetisasi,” lanjut Kevin.
Senada, Head of Research Kiwoom Sekuritas Liza Camelia Suryanata menilai beban bunga dan cicilan akan membebani arus kas tahunan, tapi lebih ringan dibandingkan pembelian langsung.
“Ini menjaga leverage terkelola baik dan memungkinkan pelunasan bertahap sesuai realisasi marketing sales,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (9/7).
Ia juga melihat, meski akan ada penurunan laba bersih, fleksibilitas modal akan meningkat saat penjualan berjalan.
Manajemen SMRA menargetkan prapenjualan tahun ini mencapai Rp 5 triliun atau meningkat 14,5% secara tahunan. Kevin memprediksi, dalam mencapai ini, Serpong masih menjadi wilayah kunci pertumbuhan utama.
Tak dimungkiri, kontribusi kawasan Serpong terhadap prapenjualan sempat menurun menjadi 31% pada 2024, dengan nilai mencapai Rp 1,3 triliun.
Namun, pada Maret 2025 lalu, peluncuran proyek komersial berharga tinggi di Serpong mencatat pra-penjualan menembus Rp 250 miliar.
“Meski kontribusinya untuk prapenjualan SMRA menurun dari 62% pada 2015, Serpong masih menjadi kawasan unggulan bagi perseroan,” jelas Kevin.
Analis KB Valbury Sekuritas Steven Gunawan memprediksi, target marketing sales perseroan bisa ditopang oleh infrastruktur baru Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta 2 (JORR 2).
Menurut Steven, proyek Summarecon Crown Gading milik perseroan bakal diuntungkan jalan tol baru Cibitung-Cilincing dan Cimanggis-Cibitung, sehingga berdampak positif untuk kinerja keuangan ke depan.
Tak jauh berbeda, Liza melihat infrastruktur ini memperluas catchment area atau wilayah jangkauan potensial, sehingga dapat menarik pembeli baru.
“Efeknya, terjadi akselerasi marketing sales dan realisasi pendapatan. Potensi margin proyek pun naik, seiring kenaikan harga tanah,” jelasnya.
Segmen pusat perbelanjaan juga berkontribusi positif untuk kinerja perseroan. Steven memproyeksikan, kenaikan 2% di segmen tersebut mendorong pendapatan berulang atau recurring revenue perusahaan tumbuh 3,9% menjadi Rp 3,2 triliun tahun ini.
“Pertumbuhan ini berasal dari rencana operasional tahap kedua Summarecon Mall Bekasi yang dijadwalkan mulai beroperasi pada kuartal IV-2025,” papar Steven dalam keterangan resmi 24 Juni 2025.
Liza menyarankan untuk mencermati beberapa sentimen hingga akhir tahun ini. Pertama, perubahan suku bunga Bank Indonesia (BI) dan kebijakan properti, seperti insentif atau pembatasan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Sebab, ini dapat berdampak langsung pada daya beli konsumen dan penjualan residensial.
Menurut Liza, tren harga tanah dan margin pengembangan juga penting untuk diamati, apakah tetap support harga premium.
Ketiga, perkembangan proyek hasil kerja sama lahan (JV) serta potensi pembengkakan biaya (cost overrun) perlu diperhatikan, terutama dalam konteks monetisasi lahan jangka menengah.
“Adopsi infrastruktur baru dan respons pasar terhadap produk premium SMRA juga perlu dicermati,” imbuh Liza.
Kevin mempertahankan rekomendasi beli SMRA dengan target harga direvisi menjadi Rp 500 per saham dari Rp 630 per saham. Steven merekomendasikan beli SMRA dengan target harga Rp 470 per saham.
Baca Juga: Hartadinata Abadi (HRTA) Jadi Pemasok Emas BSI Gold, Cermati Rekomendasi Sahamnya
Selanjutnya: Menakar Arah Chandra Daya Investasi (CDIA) di Tengah Tingginya Minat Investor
Menarik Dibaca: 5 Manfaat Sarapan saat Diet Tubuh, Cegah Keinginan Ngemil Tengah Malam
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News