Reporter: Widiyanto Purnomo | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Laju pasar saham domestik masih terseok-seok. Sejak awal tahun hingga akhir pekan lalu atau year-to-date (ytd), imbal hasil Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah minus 8,74%. Pencapaian ini yang terburuk di kawasan Asia Pasifik.
Di saat pasar terpuruk, bukan berarti investor memasang posisi tiarap. Tentu masih ada peluang memetik untung dari saham yang memiliki fundamental bagus, dengan harga diskon. Saham yang tergabung dalam kelompok indeks LQ45 bisa menjadi salah satu pilihan. Tapi jangan asal menubruk saham murah, investor sebaiknya menelisik prospek bisnis dan saham emiten yang menjadi incaran.
Suria Dharma, Kepala Riset Buana Capital, menilai investor perlu mempertimbangkan performa bisnis dan kondisi fundamental emiten yang masuk dalam indeks LQ45. ”Murah saja tak cukup,” tutur dia kepada KONTAN, Jumat (7/8) pekan lalu.
Radar investasi
Mengacu hal tersebut, Suria memilih ICBP, MPPA, LPPF dan TLKM. Saham perbankan seperti BBRI dan BBCA juga menjadi incarannya.
Menurut dia, kinerja emiten konsumer seperti ICBP ditopang stabilnya permintaan barang kebutuhan pokok. Apalagi, ICBP terus menelurkan produk dengan varian anyar. Hal ini demi menjaga pertumbuhan penjualan.
Sedangkan kinerja bisnis emiten telekomunikasi seperti TLKM prospektif lantaran bisnis layanan data tengah menggeliat. Di sisi lain, TLKM merupakan penguasa pasar telekomunikasi.
Selain itu, menurut Suria, saham emiten rumahsakit seperti Siloam International (SILO) patut dipertimbangkan. Apalagi, SILO punya program khusus, yang menyasar peserta BPJS Kesehatan, meski margin dari sini tipis.
Kiswoyo Adi Joe, Managing Partner Investa Saran Mandiri menuturkan, saat ini investor bisa mengoleksi saham bank jumbo seperti BMRI, BBRI, BBCA dan BBNI.
Dia juga menjagokan saham konsumer seperti UNVR. Permintaan produk UNVR relatif stabil meski ekonomi lesu.
Satrio Utomo, Kepala Riset Universal Broker Indonesia, menilai, performa emiten perbankan bakal terangkat begitu pertumbuhan ekonomi Indonesia membaik. Apalagi, dia yakin, pertumbuhan ekonomi Indonesia membaik di sisa tahun ini lantaran pemerintah menggenjot belanja. Dus, Satrio menjagokan saham bank seperti BBRI dan BBCA. Saham emiten konstruksi seperti WSKT, WIKA dan PTPP juga layak dicermati.
Maklum, emiten sektor konstruksi tengah kecipratan beberapa proyek infrastruktur pemerintah. “Peak performance emiten konstruksi akan kelihatan pada kuartal ketiga dan kuartal keempat, saat pengeluaran anggaran pemerintah mencapai puncaknya,” ujar Satrio.
Reza Priyambada, Kepala Riset NH Korindo Securities, berpendapat, saham emiten sektor farmasi seperti KLBF layak dicermati lantaran pertumbuhan bisnis yang kuat dan stabil. Kemudian, sejumlah saham seperti TLKM, UNVR dan WSKT juga layak mendapatkan perhatian.
Reza menambahkan, penghuni baru indeks LQ 45 seperi SRIL juga perlu masuk radar investasi. Menurut dia, kondisi fundamental SRIL tergolong kuat. Di sisi lain, pertumbuhan labanya masih bagus.
“Sepanjang SRIL masih bisa mendapatkan kontrak pengadaan tekstil baru, maka hal tersebut akan memberikan tambahan kinerja bagi perusahaan,” ungkap Reza.
Sementara, para analis tidak merekomendasikan saham-saham emiten yang bertumpu pada harga komoditas, khususnya saham emiten pertambangan. Alasannya, harga komoditas batubara cenderung masih lesu. Apalagi permintaan global batubara masih lemah, terutama dari negara konsumen terbesar batubara seperti Tiongkok.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News