Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penghimpunan dana di pasar modal termasuk pelaksanaan rights issue tengah lesu. Tampak dari jumlah aksi maupun dana terhimpun sampai dengan kuartal III-2024, yang menurun dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Merujuk data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sampai dengan September 2024 terdapat 138 aksi penghimpunan dana dengan akumulasi nilai Rp 137,05 triliun. Terdiri dari 27 Initial Public Offering (IPO), 11 Penawaran Umum Terbatas (PUT), 5 Efek Bersifat Utang dan Sukuk (EBUS), serta 95 Penawaran Umum Bersama (PUB) EBUS.
Sebagai perbandingan, per September 2023 lalu terdapat 169 aksi penghimpunan dana dengan akumulasi nilai mencapai Rp 190,02 triliun. Aksi ini meliputi 65 IPO, 19 PUT, 9 EBUS dan 76 PUB EBUS.
Baca Juga: Masuk Radar Investor Baru, Right Issue BBYB Berpotensi Raup Dana Rp 1,23 Triliun
Meski begitu, Inarno Djajadi selaku Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK mengklaim penghimpunan dana di pasar modal masih dalam tren positif.
Pada paparan Rapat Dewan Komisioner Bulanan OJK, diketahui bahwa masih ada 127 pipeline penawaran umum dengan perkiraan nilai indikatif sebesar Rp 53,80 triliun.
Sementara itu, analis menyoroti sejumlah faktor yang menyebabkan aksi penghimpunan dana di pasar modal merosot, terutama dalam pelaksanaan rights issue. Sampai dengan September 2024, terdapat 11 PUT yang menghimpun dana Rp 36,30 triliun. Turun ketimbang periode yang sama tahun lalu, dengan 19 aksi PUT senilai Rp 37 triliun.
Senior Vice President & Head of Retail Henan Putihrai Asset Management, Reza Fahmi Riawan menyoroti tiga faktor yang membuat penghimpunan dana seperti rights issue lebih lesu di tahun ini.
Pertama, emiten mempertimbangkan kondisi makro-ekonomi dan tensi politik di tengah transisi pemerintahan.
Baca Juga: Bank Neo Commerce (BNC) Lakukan Right Issue untuk Perkuat Modal Inti
Kedua, volatilitas di pasar yang sedang kencang membuat tingkat risiko menjadi lebih tinggi. Ketiga, adanya ekspektasi tren penurunan suku bunga acuan.
"Sentimen suku bunga akan menurun dapat membuat instrumen keuangan lain seperti pinjaman perbankan menjadi lebih menarik," kata Reza kepada Kontan.co.id, Kamis (10/10).
Investment Analyst Syailendra Capital, Michael Tjandra menambahkan, situasi ini turut disebabkan likuiditas pasar yang cenderung menurun dibandingkan tahun 2023. Michael melihat cukup banyak likuiditas yang tersedot ke obligasi dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) seiring tingginya tingkat suku bunga, sebelum ada pemangkasan.
Dia pun mengamini, kondisi makro ekonomi yang dibayangi ketidakpastian bisa mendatangkan lebih banyak risiko bagi emiten. "Apabila kondisi makro sedang uncertain dimana bisa ada banyak risiko dan kondisi market bearish, maka investor kemungkinan tidak subscribe ke saham rights issue," imbuh Michael.
Research Analyst Infovesta Kapital Advisori, Arjun Ajwani menimpali, penghimpunan dana di pasar modal seperti rights issue umumnya dilakukan emiten untuk ekspansi atau melunasi utang. Dus, penurunan rights issue juga disebabkan oleh pergeseran strategi dan kebutuhan emiten untuk menggelar aksi tersebut.
Di sisi yang lain, penurunan suku bunga akan memangkas cost of funding atau biaya refinancing. Dengan begitu, penerbitan surat utang bisa menjadi alternatif yang lebih menarik dibandingkan rights issue.
Customer Literation and Education Kiwoom Sekuritas Indonesia, Vinko Satrio Pekerti mengamati penurunan jumlah rights issue hingga kuartal III-2024 lebih disebabkan oleh sikap wait and see emiten. Terutama mengenai transisi pemerintahan baru dan arah kebijakan yang akan diambil oleh Presiden terpilih.
Baca Juga: Bank Neo Commerce (BBYB) Right Issue 1,31 Miliar Saham, Akulaku Jadi Pembeli Siaga
Apalagi, kondisi makro ekonomi cenderung tertekan dengan indeks manufaktur yang berada di zona kontraksi. Situasi ini menggambarkan pelemahan di sektor industri dan jasa, yang memperkuat sikap wait and see pelaku usaha dan menanti kebijakan pemerintahan baru.
"Pihak manajemen perusahaan juga membutuhkan kebijakan yang lebih jelas efek positifnya, agar bisa merealisasikan rencana ekspansi bisnis dan memberikan value-added," sebut Vinko.
Di samping itu, emiten dan pelaku pasar juga menanti langkah berikutnya dari bank sentral. Jika arah penurunan suku bunga berlanjut hingga tahun depan, maka opsi pendanaan yang lebih murah akan semakin terbuka.
Situasi ini bisa membuat instrumen seperti obligasi korporasi lebih diminati. Selain itu, green bonds atau sukuk bisa semakin menarik seiring permintaan dari investor global di tengah tren sustainability.
Baca Juga: WIKA Berencana Righst Issue, Apa Kata Praktisi Pasar Modal Berikut Ini?
Namun jika transisi pemerintahan berjalan lancar dan sesuai ekspektasi pasar, maka opsi pendanaan di pasar modal seperti rights issue juga akan kembali dilirik.
"Apabila kebijakan fiskal pemerintah baru benar-benar dapat memengaruhi gelombang investasi di sektor riil, maka aksi rights issue pun akan kembali ramai," terang Vinko.
Reza sepakat, situasi politik dan ekonomi yang lebih stabil bakal menjadi katalis penting penghimpunan dana di pasar modal kembali bergairah. Meski, perlu juga dicermati sejauh mana ketidakpastian global akan terjadi.
"Sentimen pendorong termasuk kepastian politik dan kebijakan fiskal yang mendukung investasi," tandas Reza.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News