Reporter: Wuwun Nafsiah | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Harga minyak mentah memanas. Pemicunya, para pelaku pasar berspekulasi surplus minyak di pasar global akan menyusut.
Mengutip Bloomberg, Jumat (9/10), minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) pengiriman November 2015 di New York Merchantile Exchange naik tipis 0,41% menjadi US$ 49,63 per barel. Ini harga tertinggi dalam enam pekan terakhir.
Sepanjang pekan lalu, harga komoditas energi ini tercatat sudah naik 9%. Bahkan, sempat menyentuh ke atas US$ 50 per barel. Meski demikian, dibanding akhir 2014, harga minyak masih turun 15,58%.
Baru-baru ini, Sekretaris Jenderal Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) Abdalla Salem El-Badri meramal, penggunaan minyak dunia tahun ini meningkat 1,5 juta barel sehari, melebihi perkiraan sebelumnya. Alhasil, pelaku pasar berspekulasi kenaikan permintaan itu akan mengurangi kelebihan pasokan minyak.
Research and Analyst Fortis Asia Futures Deddy Yusuf Siregar menyebut, proyeksi kenaikan permintaan minyak berasal dari Korea Selatan, Eropa dan Amerika Serikat.
Sentimen pasar semakin positif, sebab operasional rig pengeboran di AS terus berkurang selama enam pekan berturut-turut. Baker Hughes Inc melaporkan, per pekan lalu jumlah rig yang beroperasi tersisa 609 unit, terendah dalam lima tahun terakhir. "Laporan ini menunjukkan, AS berencana membatasi produksi," jelas Deddy.
Menurut Manajer Portofolio 1832 Asset Management LP di Calgary Jenniver Stevenson, aktivitas pengeboran minyak di AS akan terus berkurang hingga akhir tahun ini, lantaran kenaikan harga minyak masih terbatas.
Nizar Hilmy, Analis SoeGee Futures, menambahkan, penguatan harga minyak juga sejalan dengan koreksi dollar AS. Pelemahan dollar menguntungkan komoditas yang diperdagangkan dalam dollar.
Pasar juga merespons pernyataan PIRA Energy Group yang memprediksi harga minyak akan mencapai US$ 70 sebarel tahun depan, dan US$ 75 di 2017. "Sebelumnya PIRA memprediksi, harga minyak jatuh tahun ini. Proyeksi itu benar, jadi pasar yakin akan proyeksi PIRA," ujar Nizar.
Ancaman stok AS
Meski sedang reli, menurut Nizar, tren kenaikan harga minyak perlu didukung kondisi fundamental. Meski permintaan global diprediksi naik, stok di AS masih berlebih. Per 2 Oktober lalu, stok minyak AS secara nasional naik sebanyak 3,07 juta barel menjadi 461 juta barel. Tingkat kenaikan ini melebihi perkiraan, yaitu 2,25 juta barel.
Namun, di jangka pendek, Nizar masih melihat peluang kenaikan harga minyak berlanjut. Terutama, jika dollar AS masih loyo. Tapi, waspada profit taking, sebab harga sudah naik tajam. Prediksinya, pekan ini, minyak di US$ 47-US$ 52 per barel.
Deddy memperkirakan sepekan ini, harga minyak naik terbatas. Level support di US$ 42,90 sebarel dan resistance di US$ 55,4 per barel. Sementara 16 dari 41 trader dan analis yang disurvei Bloomberg memperkirakan, pekan ini, harga WTI masih bullish.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News