Reporter: Nur Qolbi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Belum lama ini, PT Pertamina (Persero) berhasil memproduksi bahan bakar diesel dengan 100% sawit atau yang disebut Green Diesel (D-100). Produk ini merupakan hasil olahan dari crude palm oil (CPO) yang diproses lagi menjadi Fatty Acid Methyl Ester (FAME) atau yang dikenal dengan biodiesel.
Saat ini, Pertamina baru bisa memproduksi D100 di Kilang Dumai dengan kapasitas 1.000 barel per hari (bph). Akan tetapi, Pertamina berencana terus meningkatkannya secara bertahap menjadi 6.000 bph, kemudian 20.000 bph pada tahun 2023.
Baca Juga: Satyamitra Kemas Lestari (SMKL) kembali cetak laba bersih di semester I-2020
Analis NH Korindo Sekuritas Meilki Darmawan menilai, jika rencana tersebut terimplementasi, maka program ini dapat meningkatkan permintaan CPO domestik yang lebih besar. Berdasarkan perhitungannya, bakal ada tambahan konsumsi CPO domestik sekitar 8-10 juta ton per tahun jika program D100 sudah berjalan.
Meskipun begitu, ia melihat, masih terlalu dini untuk realisasi D100 akan diterapkan pada 2020. Menurut dia, pada tahun ini, D100 masih dalam tahapan produksi untuk percobaan sambil menunggu perhitungan harga dan proses penerapannya yang akan disusun oleh pemerintah.
"Jadi, saya lebih melihat program D100 akan menjadi pendorong bagi permintaan CPO untuk jangka panjang setidaknya mulai dari 2021," ucap Meilki saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (2/8).
Baca Juga: Dapat jaminan kredit korporasi, simak rekomendasi saham perbankan ini
Seiring dengan direalisasikannya program D100 ini pada masa mendatang, Meilki optimistis Indonesia bisa menjadi penentu harga jual CPO dunia. Per 2019, Indonesia sebagai kontributor terbesar bagi total pasokan CPO global, yakni sekitar 30%.
Nah, dengan penambahan konsumsi domestik sekitar 8-10 juta ton per tahun dan himbauan pemerintah agar produksi CPO Indonesia mendahulukan konsumsi domestik, level ekspor CPO Indonesia berpotensi menurun dari 70% menjadi sekitar 55%.
"Efek penurunan ekspor tersebut tentunya akan memperkecil pasokan CPO dunia sehingga ada potensi kenaikan harga CPO di jangka panjang yang ditentukan oleh level produksi dan konsumsi CPO di Indonesia," ungkap dia.
Baca Juga: IHSG diprediksi menguat, ini rekomendasi saham untuk perdagangan hari ini (3/8)
Terkait dengan emiten-emiten yang belum bakal masuk dalam bisnis ini dalam waktu dekat, menurut Meilki, untuk mengembangkan bisnis biodiesel, perlu ada perhitungan secara komersial dari tiap internal perusahaan. Mengingat, emiten memiliki kondisi keuangan dan model bisnis yang berbeda-beda.
Meskipun begitu, ia yakin, tanpa adanya ekspansi bisnis biodiesel, emiten CPO tetap akan diuntungkan melalui naiknya permintaan dan harga jual CPO. Pasalnya, hal tersebut akan meningkatkan harga jual rata-rata atau average selling price (ASP) dari tiap emiten CPO.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News