Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Harga Crude Palm Oil (CPO) atau Minyak Sawit Mentah tengah berada dalam tren positif. Harga CPO didukung ketatnya pasokan, sentimen suku bunga, hingga stimulus China.
Berdasarkan data Trading Economics, Rabu (23/10) sore, harga minyak sawit berjangka Malaysia berada di posisi MYR 4.514 per ton. Harga terpantau meningkat lebih dari 2% dalam sehari dan naik sekitar 13,16% dalam periode sebulan.
Pengamat komoditas dan Founder Traderindo.com, Wahyu Tribowo Laksono memandang bahwa harga CPO umumnya masih positif. Potensi kenaikan harga CPO masih memungkinkan, namun tampaknya bakal terbatas karena komoditas lainnya juga sulit bertahan naik seperti minyak dunia.
Baca Juga: Menilik Kesiapan Industri Sawit Menghadapi B60, Ekspor akan Makin Dikorbankan?
Saat ini prospek CPO cukup berimbang antara pasokan dan permintaan. Di mana, output global yang diharapkan lebih tinggi dari minyak kedelai dan permintaan tetap untuk CPO dari negara-negara pengimpor utama masih jadi faktor penyeimbang tersebut.
Subsektor kelapa sawit potensial meningkat karena didukung oleh produksi dan hasil yang tinggi menyusul daerah panen kelapa sawit yang lebih luas, kondisi cuaca yang menguntungkan dan pasar tenaga kerja yang lebih baik (pasca pandemi).
Wahyu mengatakan, permintaan CPO dari India, Bangladesh, Jerman, Iran dan Filippina diperkirakan masih akan meningkat. Sementara itu, Indonesia sebagai produsen terbesar CPO di dunia, mengalami kondisi pasokan yang ketat.
Baca Juga: Menilik Kesiapan Industri Sawit Menghadapi B60, Ekspor akan Makin Dikorbankan?
Situasi ketatnya pasokan Indonesia terutama disebabkan oleh cuaca buruk dan biaya masukan yang tinggi. Akibatnya, produksi minyak sawit Indonesia diperkirakan akan turun 200.000 ton pada 2024 dibandingkan tahun sebelumnya.
Wahyu menyebutkan, Asosiasi Minyak Kelapa Sawit dan Badan Minyak Kelapa Sawit Indonesia memperkirakan produksi CPO maupun PKO di tahun 2024 bakal datar atau turun hingga 5%. Mereka memperkirakan produksi antara 52 juta dan 53 juta ton, turun dari rekor tahun lalu 54,84 juta ton.
Adapun Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) melaporkan bahwa total produksi CPO pada Agustus 2024 sebesar 3,98 juta ton atau naik dari bulan sebelumnya sebanyak 3,61 juta ton. Di periode Januari – Agustus 2024, total produksi CPO tercatat 31,51 juta ton, terpantau turun dari posisi 33,11 juta ton pada Agustus 2023.
Baca Juga: Pengembangan Biofuel Terkendala Bahan Baku dan Harga, Begini Altenatif Solusinya
Wahyu menambahkan, suplai dari Indonesia bakal semakin berkurang seiring rencana implementasi program B40 hingga B50 di tahun depan dan tahun 2026. Seperti diketahui, pemerintah berencana meningkatkan penggunaan bahan bakar campuran biodiesel berbasis minyak sawit yang dikombinasikan dengan solar.
Untuk kebutuhan program B50 diproyeksi membutuhkan sebesar 5,3 juta ton CPO, yang diambil dari kuota ekspor. Program peningkatan biodiesel B35 saat ini menjadi B40 ataupun B50 merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menjalankan transisi energi dari ketergantungan pada bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan.
"Apalagi kebijakan Indonesia (B40 dan B50) juga semakin potensial menekan suplai CPO," ungkap Wahyu saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (23/10).
Wahyu menuturkan, Malaysia sebagai produsen CPO terbesar kedua di dunia, bakal mendapatkan keuntungan dari persediaan Indonesia yang ketat. Dengan kondisi tersebut, konsumen cenderung mengalihkan permintaan mereka ke pasokan minyak sawit Malaysia.
Baca Juga: Harga Minyak Turun di Tengah Meredanya Kekhawatiran atas Risiko Perang Timur Tengah
Peralihan ke pasar minyak sawit Malaysia akan berdampak positif bagi ekspor minyak sawit negeri jiran tersebut. Stok kemudian berpotensi menurun yang pada akhirnya bisa memicu kenaikan harga CPO global.
Di Malaysia, Malaysian Palm Oil Board (MPOB) melaporkan bahwa produksi CPO Malaysia meningkat sebesar 2,9% menjadi 1,89 juta ton pada bulan Agustus 2024 dari 1,84 juta ton pada bulan Juli 2024. Dari sisi ekspor, MPOB mencatat adanya penurunan 9,7% menjadi 1,53 juta ton dari 1,69 juta ton pada bulan Juli.