Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penyerapan penawaran Surat Berharga Negara (SBN) di semester II diperkirakan masih tetap positif. Kupon yang ditawarkan masih relatif menarik.
Berdasarkan laporan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Semester I 2024, pemerintah merealisasikan SBN di semester I sebesar Rp 206,18 triliun. Jika mengacu pada target tahun ini sebesar Rp 666 triliun, maka terdapat rencana penerbitan sebesar Rp 459,82 triliun.
Head of Economic Research Division Pefindo Suhindarto berpandangan bahwa penyerapan SBN di semester II akan tergantung pada nilai kebutuhan penerbitannya. Hal itu juga akan sangat bergantung pada kondisi defisit APBN 2024.
Contohnya, pada tahun 2023 lalu defisit APBN yang terealisasi sebesar Rp 347,64 triliun atau lebih kecil daripada yang ditargetkan pada Perpres 75/2023 sebesar Rp 479,93 triliun. Alhasil, hal ini membuat pembiayaan anggaran yang dibutuhkan lebih kecil dan penerbitan surat utang pemerintah lebih rendah dari yang diperkirakan.
"Namun jika mengasumsikan defisit anggaran akan terealisasi di sekitar target APBN 2024, dan pemerintah perlu membiayai defisit tersebut dengan menerbitkan surat utang, penyerapan masih akan baik di semester II 2024," ujarnya kepada Kontan.co.id, Rabu (4/9).
Baca Juga: September Masih Dibuka, Ini Cara Investasi Sukuk Ritel SR 021 dengan Kupon Mantab!
Pertama, meskipun yield mulai menurun akibat pasar yang sudah memulai price-in, namun suku bunga masih belum benar-benar diturunkan. Dengan begitu, ia menilai masih relatif menarik untuk memburu instrumen surat utang.
Suhindarto menyebutkan, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk mendapatkan kupon yang tinggi. Selain itu, ketika Bank Indonesia (BI) mulai menurunkan suku bunga, harga dari surat utang, terutama yang bertenor menengah-panjang akan cenderung terapresiasi dan meningkat.
"Sehingga para investor bisa mendapatkan capital gain dari instrumen surat utang bertenor menengah-panjang yang mereka pegang," terangnya.
Kedua, potensi pelonggaran moneter menjadi katalis bagi harga surat untuk naik ke depan. Hal tersebut membuat SBN menjadi pilihan diantara investor.
"Harga obligasi akan berbanding terbalik dengan suku bunga, yang mana pemangkasan suku bunga akan mengerek naik harga obligasi," lanjutnya.
Pefindo juga melihat BI kemungkinan hanya akan menurunkan suku bunga satu sampai dua kali di tahun 2024 seiring dengan inflasi yang terus berada di kisaran 2%. Namun hal ini juga tetap akan bergantung pada manuver dari the Fed, untuk tetap memastikan kestabilan nilai tukar rupiah. Pemangkasan suku bunga yang lebih banyak, kemungkinan baru akan dilakukan di tahun depan.
"Sehingga kami perkirakan, yield di tahun ini masih akan cukup terjaga dan membuat kupon dari penerbitan masih relatif menarik. Hal ini yang kemudian diperkirakan akan membuat penyerapan penerbitan surat utang di semester kedua masih akan cukup baik," jelasnya.
Baca Juga: Penawaran Masuk di Lelang SUN, Selasa (3/9), Tembus Rp 45,49 Triliun
Masih menariknya instrumen surat utang juga terlihat dari hasil lelang terakhir yang dilakukan pada 3 September kemarin. Terdapat total penawaran yang masuk untuk tujuh seri surat utang yang dilelang, dengan total nominal penawaran sebesar Rp 45,48 triliun.
Sementara itu, jumlah nilai yang dimenangkan adalah Rp 22 triliun, yang berarti bid-to-cover ratio masih berada di atas 2 kali, yang menandakan minat pasar yang masih besar.
"Ini menandakan minat pasar yang masih besar terhadap instrumen surat utang pemerintah dan saya yakin lelang-lelang yang akan dilakukan pemerintah sepanjang semester II ini akan terus bisa mencapai target," tegasnya.
Analis Fixed Income Sucorinvest Asset Management, Alvaro Ihsan sependapat bahwa permintaan SBN kembali menguat. Hal ini sejalan dengan meningkatnya sentimen potensi penurunan suku bunga di bulan September.
Menilik data BI, pada semester II 2024, berdasarkan data setelmen sampai dengan 29 Agustus 2024, nonresiden tercatat beli neto sebesar Rp 57,31 triliun di SRBI, Rp 43,15 triliun di pasar SBN, dan Rp 12,45 triliun di pasar saham.
Adapun untuk yield, berdasarkan data Trading Economics, yield SUN acuan 10 tahun berada di level 6,66%. "Penurunan suku bunga akan membawa SBN untuk mengalami apresiasi harga sejalan dengan penurunan yield," kata Alvaro.
Selain itu, penguatan rupiah hingga potensi penurunan suku bunga bank sentral juga akan semakin meningkatkan partisipasi investor pada penerbitan SBN serta meningkatkan likuiditas pasar obligasi.
"Saat ini, asing masih hanya memiliki porsi kepemilikan di SBN sebesar 14%, dibandingkan kepemilikan pra pandemi sebesar 38%-39%. Dengan porsi kepemilikan asing yang masih terbatas, masih terdapat ruang untuk inflow asing terhadap SBN," imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News