Reporter: Dimas Andi | Editor: Sofyan Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Emiten-emiten yang bergerak di bidang kuliner mencoba memanfaatkan momentum peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini. Namun, di saat yang sama, tantangan persaingan bisnis dan likuiditas saham mesti dihadapi oleh emiten-emiten tersebut.
Analis Binaartha Parama Sekuritas, Muhammad Nafan Aji menilai, karena industri kuliner di Indonesia sudah cukup kondusif pada tahun ini, tantangan emiten-emiten sektor kuliner lebih condong pada persaingan dengan para pelaku bisnis kuliner lainnya.
Menurutnya, masyarakat saat ini cenderung menggemari restoran yang unik dengan tingkat kelezatan produk kuliner yang tinggi dan harga yang rasional. Hal tersebut membuat emiten-emiten sektor kuliner dituntut melakukan inovasi pada produknya agar pelanggan tidak bosan.
Sepakat, William Surya Wijaya, Vice President Research Department Indosurya Sekuritas berpendapat, banyaknya jumlah pelaku bisnis kuliner membuat kehadiran produk kuliner yang serupa tidak bisa dihindari. Alhasil, perang harga sangat mungkin terjadi.
Ia memberi contoh pada PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST) dan PT Pioneerindo Giurment Internasional Tbk (PTSP) yang masing-masing memegang lisensi restoran cepat saji KFC Indonesia dan CFC Indonesia. Kedua restoran tersebut sama-sama menyajikan ayam goreng sebagai menu utamanya.
Salah satu bentuk inovasi yang bisa dilakukan oleh emiten sektor kuliner adalah dengan menambahkan cita rasa khas lokal ke dalam produk-produknya, sehingga pelanggan dapat merasakan makanan atau minuman yang berbeda dan tidak dapat ditemukan di tempat lain.
“Walau rata-rata berasal dari luar negeri, tak ada salahnya restoran cepat saji memodifikasi produknya agar dekat dengan ciri khas kuliner Indonesia,” ungkap William.
Selain berurusan dengan persaingan bisnis, emiten-emiten sektor kuliner juga berhadapan dengan tantangan likuiditas saham.
Menurut Bertoni Rio, Senior Analyst Research Division Anugerah Sekuritas Indonesia, kurang likuidnya saham milik emiten-emiten sektor kuliner disebabkan sebagian investor lebih memilih untuk menyimpan saham emiten tersebut alih-alih memperdagangkannya di bursa. “Transaksi yang melibatkan emiten-emiten sektor kuliner tergolong minim,” katanya.
Sementara menurut William, emiten-emiten sektor kuliner perlu membuat gebrakan bisnis tertentu sehingga menarik perhatian para investor. Hal ini mengingat sebagian emiten sektor kuliner merupakan pendatang baru di Bursa Efek Indonesia (BEI). Ambil contoh PT MAP Boga Adiperkasa Tbk (MAPB) yang baru terdaftar di bursa pada 21 Juni 2017.
Meski tergolong baru, William menjagokan MAPB sebagai emiten sektor kuliner yang paling unggul sepanjang tahun ini. Sebab, emiten tersebut memiliki keunggulan berupa kepemilikan merek dagang yang bervariasi, seperti Starbucks, Pizza Express, Krispy Kreme, Godiva Chocolatier, dan Cold Stone Creamery.
Bertoni pun ikut menjatuhkan pilihannya pada MAPB dengan rekomendasi hold pada target harga Rp 2.000 per saham.
Sementara itu, kinerja perusahaan yang positif hingga kuartal III 2017 lalu ditambah popularitas KFC di Indonesia membuat Nafan yakin FAST mampu mengulangi prestasinya sepanjang tahun ini. Ia pun merekomendasikan beli saham FAST dengan target harga Rp 1.700 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News