Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) kompak raih pertumbuhan pendapatan dan laba bersih di tahun 2023. Meningkatnya aktivitas produksi dan terkendalinya harga bahan baku diharapkan mampu menjaga kinerja positif di 2024.
Berdasarkan laporan keuangannya, ICBP mencatatkan pendapatan sebesar Rp 67,9 triliun yang meningkat sekitar 4,8% Year on Year (yoy) di tahun 2023. Dari sisi bottom line, laba bersih melesat 52,4% yoy menjadi Rp6,9 triliun.
Segmen mie instan tampil mengesankan dengan pertumbuhan volume sebesar 3% dan pendapatan meningkat 6,2%yoy menjadi Rp 50,43 triliun di tahun 2023. Segmen ini juga meraih peningkatan margin Ebitda menjadi 25,7% pada 2023 dibandingkan 22,9% pada 2022 seiring dengan normalisasi harga bahan baku. Namun biaya pengemasan masih tetap tinggi.
Baca Juga: Laba ICBP Melonjak 52,39% pada 2023, Cermati Rekomendasi Analis
Sementara itu, penjualan susu atau dairy mencapai Rp 9,12 triliun dan pendapatan dari makanan ringan mencapai Rp 4,24 triliun. Kemudian pendapatan dari segmen penyedap makanan berkontribusi sebesar Rp 3,67 triliun, pendapatan dari nutrisi dan makanan khusus menyumbang Rp 1,21 triliun, serta pendapatan dari segmen minuman menyumbang Rp 1,6 triliun.
Analis BRI Danareksa Sekuritas Natalia Sutanto memandang bahwa pertumbuhan kinerja yang diraih ICBP tahun lalu sebagian besar didorong oleh kenaikan harga jual rata-rata alias Average Selling Price (ASP) dan adanya pertumbuhan volume penjualan.
Seperti diketahui, semua divisi melaporkan pertumbuhan volume positif kecuali produk Susu turun -4% yoy dan Nutrisi & Makanan Khusus sekitar -9% yoy.
Dengan harga bahan baku tetap terkendali, ICBP juga melaporkan margin EBITDA yang tinggi sebesar 21,8%, meskipun biaya belanja Advertisement & Promotion (A&P) lebih tinggi, serta lebih besarnya tunjangan gaji di tahun 2023.
Baca Juga: Asing Net Sell Jumbo Rp 3,76 Triliun di Akhir Pekan, Ini Saham yang Banyak Dilego
“Margin EBITDA yang solid didukung oleh pendapatan yang kuat dan harga input yang rendah,” ujar Natalia dalam riset 2 April 2024.
Hanya saja, Natalia menilai, depresiasi mata uang di Nigeria lebih dari 30% secara year to date (ytd) membuat ICBP harus mengurangi investasinya pada entitas asosiasinya yaitu Dufil, sehingga sedikit membebani laba bersih di tahun 2023. Meski demikian, tidak termasuk penurunan dan keuntungan nilai tukar, ICBP melaporkan laba inti sebesar Rp 9,3 triliun yang meningkat 27%yoy.
Analis Bahana Sekuritas Christine Natasya menyoroti, hasil yang lemah pada kuartal IV-2024 diperburuk oleh kerugian Dufil Prima Foods Plc (DPFP), sebuah perusahaan manufaktur di Nigeria yang menjual mie instan. ICBP mencatat rugi bersih Rp 69,4 miliar di kuartal keempat 2023 dibandingkan Rp raihan laba Rp 1,33 triliun di kuartal ketiga 2023 dan Rp 1,27 triliun pada kuartal IV-2022.
Baca Juga: Mencermati Kinerja Emiten Konglomerasi Sepanjang 2023 dan Rekomendasi Analis
DPFP dimiliki oleh Pinehill melalui 49% saham ekuitas, sehingga tidak dimiliki langsung oleh ICBP. Namun, Bahana Sekuritas yakin bahwa pendapatan ekuitas dikontribusikan kepada ICBP berdasarkan persentase kepemilikannya, dan ini dibukukan sebagai penurunan nilai pada 2023.
Berdasarkan laporan terbaru, kerugian penurunan nilai ICBP tercatat sebesar Rp2,4 triliun karena depresiasi nilai tukar Naira Nigeria, tempat operasional perusahaan kinerja, dan prospek bisnis di masa depan.
Sampai batas tertentu, Christine percaya bahwa perekonomian dan daya beli di Nigeria berkinerja buruk karena ketidakstabilan di wilayah penghasil pangan di negara tersebut, memburuknya infrastruktur pedesaan, dan perubahan iklim. Faktor-faktor ini telah menyebabkan tingkat inflasi melonjak sebesar 31,7% pada Februari 2024, naik dari 29,9% pada bulan Januari.
Hingga saat ini, belum ada indikasi ICBP akan mencatat penurunan nilai lagi pada 2024, karena penurunan nilai biasanya terjadi setahun sekali pada akhir kalender tahun.
Baca Juga: Jelang Lebaran, Indomie Berangkatkan Mudik 11.275 Pengusaha Warmindo
Terlepas dari itu, volume penjualan luar negeri ICBP tumbuh 6%yoy di 2023 dan 10%yoy pada kuartal IV-2023 berkat pasar Arab Saudi yang kuat dan tidak terpengaruh depresiasi nilai tukar.
“Kami tidak memperkirakan adanya penurunan nilai keuangan pada 2024 dan akan kembali memperbarui kabar nilai tukar Nigeria dan situasi ekonomi negara tersebut,” kata Christine kepada Kontan.co.id, belum lama ini.
Christine memangkas proyeksi pertumbuhan pendapatan ICBP menjadi 5,3%yoy untuk tahun 2024 dari sebelumnya 7,7%yoy. Hal ini seiring pertumbuhan volume bumbu makanan dan makanan ringan diperkirakan lebih rendah.
Adapun ICBP memandu pertumbuhan pendapatan tahunan sebesar 5-8%yoy pada tahun 2024 yang didorong oleh volume dengan kisaran yang lebih tinggi untuk margin Ebitda sebesar 19%-21% dibandingkan 18-20% di tahun-tahun sebelumnya di tengah proyeksi harga bahan baku yang stabil.
Baca Juga: Bukukan Kinerja Bervariasi, Simak Rekomendasi Saham Emiten Konglomerasi
Sementara itu, Natalia memperkirakan ICBP akan membukukan pertumbuhan pendapatan sekitar 6,9% yoy dan 8,6% yoy pada 2024-2025. Proyeksi ini didukung oleh volume penjualan segmen mie instan sekitar 4-5% yoy, Makanan Ringan 4% dan Penyedap Makanan 8-11%.
Di samping itu, harga bahan baku diasumsikan stabil untuk Gandum sekitar US$600/bush dan harga CPO sekitar MYR3.650 per ton.
Pertumbuhan laba bersih ICBP diperkirakan sebesar 52%yoy menjadi Rp 10,61 triliun. ICBP diperkirakan bisa mempertahankan margin kotornya pada kisaran 37% dibandingkan kisaran 32% - 37% pada 2018-2022, serta menjaga dan opex sekitar 15%.
Baca Juga: Indofood CBP Sukses (ICBP) Jadi Penopang Utama Kinerja Grup Salim
Dengan mempertimbangkan kondisi terkini, Natalia mempertahankan peringkat Beli untuk ICBP, namun dengan target harga lebih rendah di Rp 12.900 dari sebelumnya Rp 13.000 per saham. Christine juga masih mempertahankan peringkat Beli untuk ICBP, tetapi dengan target harga lebih rendah di Rp 12.000 per saham.
Christine menyebutkan, risiko yang perlu dicermati bagi ICBP adalah pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) lebih rendah dari perkiraan, depresiasi nilai tukar rupiah, harga bahan baku yang lebih tinggi, melemahnya daya beli, serta persaingan yang semakin ketat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News