Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Wahyu T.Rahmawati
Fundamental komoditas tembaga juga ikut mendukung, dengan tren inflasi AS yang pro terhadap harga komoditas dunia, diikuti pergerakan dolar AS yang terancam kembali melemah. Selainjutnya, tren harga tembaga juga diyakini mengekor harga emas dan perak yang saat ini dalam tren bullish. "Harga tembaga bisa menyentuh US$ 7.500 per ton, bahkan bisa menguji level potensial US$ 8.000 per ton di akhir tahun ini dan awal 2021," jelas Wahyu.
Berkaca dari prospek harga tembaga ke depan, Wahyu meyakini pergerakan komoditas logam industri lainnya bakal serupa atau mendekati tren positif harga tembaga. Salah satunya harga timah, yang saat ini memiliki demand atau permintaan yang membaik.
Bahkan, pandemi Covid-19 dipandang berhasil memberikan sentimen positif bagi harga timah. Pasalnya, kebutuhan masyarakat akan gawai meningkat, dimana timah merupakan salah satu komponen utama dalam pembuatan alat elektronik tersebut.
Baca Juga: Permintaan dari China pulih, harga tembaga melesat ke level tertinggi dalam 2 tahun
Untuk itu, harga timah bepotensi menuju level US$ 18.000 per ton di jangka menengah. Jika level tersebut berhasil ditembus, kemungkinan timah akan bergerak konsolidasi di area US$ 18.000 per ton-US$ 22.000 per ton.
Adapun untuk prospek nikel di jangka panjang diprediksi tidak secerah komoditas rekan-rekannya yakni tembaga dan timah. Hal ini diakibatkan besarnya tekanan dari sisi permintaan akibat dampak pandemi Covid-19. Meskipun begitu, dibukanya lockdown di beberapa negara, diharapkan mampu meningkatkan prospek harga nikel ke depan.
Wahyu menambahkan, umumnya saat harga melemah China akan masuk untuk mengantisipasi dan memacu inventori harga komoditas. Ditambah lagi, untuk jangka panjang prospek nikel masih cukup baik dengan asumsi perkembangan electronic vehicle (EV) masih cukup tinggi.
Prediksinya, harga nikel akan menguji level resistance lanjutan di US$ 16.000 per ton, setelah berhasil menembus level US$ 15.000 per ton. Akhir tahun ini, Wahyu memperkirakan harga bisa mendarat di kisaran US$ 17.000 per ton, meskipun level resistance sebenarnya berada di US$ 18.800 per ton.
Baca Juga: Meski ada pandemi, outlook Indonesia ke depan diperkirakan akan terus membaik
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News