kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45901,40   8,81   0.99%
  • EMAS1.332.000 0,60%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pelemahan dolar AS turut menyokong kenaikan harga logam industri


Senin, 21 September 2020 / 20:53 WIB
Pelemahan dolar AS turut menyokong kenaikan harga logam industri
ILUSTRASI. Harga tembaga digadang-gadang jadi komoditas yang paling cepat mengalami rebound.


Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prospek komoditas logam industri diprediksi cenderung positif ke depan, tembaga digadang-gadang jadi komoditas yang paling cepat mengalami rebound. Mengutip Bloomberg, dalam sepekan harga komoditas tembaga tercatat naik 1,13% dan ditutup pada level US$ 6.812 per ton pada Jumat (18/9). Kenaikan tersebut diikuti harga timah yang naik tipis 0,07% dan bertengger di level US$ 18.115 per ton. 

Tapi, nikel belum mengikuti jejak komoditas logam industri lainnya, dengan mencatatkan penurunan harga 1,26% dalam sepekan dan berakhir di level US$ 14.904 per ton akhir pekan lalu.

Analis Central Capital Futures Wahyu Tribowo Laksono mengatakan secara umum pergerakan harga komoditas dalam tren rebound dari level rendahnya tahun ini. Tren tersebut juga didukung dengan pergerakan indeks dolar Amerika Serikat (AS) yang cenderung melemah. 

"Dalam jangka menengah, bagaimanapun dolar AS tidak sekuat tahun sebelumnya. Saat ini dollar AS lebih dibiarkan melemah, terkonfirmasi oleh kebijakan The Fed untuk menggenjot inflasi ke level 2%," kata Wahyu kepada Kontan.co.id, Senin (20/9).

Baca Juga: Harga komoditas logam industri berpeluang rebound di akhir tahun

Lewat kebijakan pelonggaran moneter AS, Wahyu menjelaskan Negeri Paman Sam membiarkan inflasi terus bergerak naik tanpa dukungan kenaikan suku bunga acuan. Alhasil, upaya greenback untuk menguat tidak berlangsung signifikan. Kebijakan tersebut dianggap sangat mendukung kondisi pasar dan bursa yang membutuhkan ruang untuk naik. 

Sementara itu, tren kenaikan harga komoditas logam industri juga sejalan dengan keinginan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan bank sentral AS Federal Reserve terkait tren reflationary trade. Reflationary trade merupakan aktivitas perdagangan dimana investor mengejar berbagai aset yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.  "Walaupun dunia atau banyak negara mengalami ekonomi anjlok bahkan resesi, harapan ekonomi terkait stimulus luar biasa dari AS, memicu reflationary trade," jelasnya. 

Dengan begitu, Wahyu menyimpulkan secara umum harga komoditas memang berpotensi untuk melanjutkan penguatan seiring tren pelemahan dollar AS. Dalam hal komoditas logam industri, prospek tembaga cenderung memimpin tren pergerakan positif tersebut. Sempat anjlok di Maret 2020, kini harga tembaga secara teknikal mengunci tren rebound yang cukup valid. Setelah berhasil menembus level tertinggi tahun ini, harga tembaga kembali konsolidasi mencoba menggapai level atas baru. 

Baca Juga: Penerimaan pajak rawan shortfall, begini strategi pemerintah

Fundamental komoditas tembaga juga ikut mendukung, dengan tren inflasi AS yang pro terhadap harga komoditas dunia, diikuti pergerakan dolar AS yang terancam kembali melemah. Selainjutnya, tren harga tembaga juga diyakini mengekor harga emas dan perak yang saat ini dalam tren bullish. "Harga tembaga bisa menyentuh US$ 7.500 per ton, bahkan bisa menguji level potensial US$ 8.000 per ton di akhir tahun ini dan awal 2021," jelas Wahyu.

Berkaca dari prospek harga tembaga ke depan, Wahyu meyakini pergerakan komoditas logam industri lainnya bakal serupa atau mendekati tren positif harga tembaga. Salah satunya harga timah, yang saat ini memiliki demand atau permintaan yang membaik.

Bahkan, pandemi Covid-19 dipandang berhasil memberikan sentimen positif bagi harga timah. Pasalnya, kebutuhan masyarakat akan gawai meningkat, dimana timah merupakan salah satu komponen utama dalam pembuatan alat elektronik tersebut.

Baca Juga: Permintaan dari China pulih, harga tembaga melesat ke level tertinggi dalam 2 tahun

Untuk itu, harga timah bepotensi menuju level US$ 18.000 per ton di jangka menengah. Jika level tersebut berhasil ditembus, kemungkinan timah akan bergerak konsolidasi di area US$ 18.000 per ton-US$ 22.000 per ton.

Adapun untuk prospek nikel di jangka panjang diprediksi tidak secerah komoditas rekan-rekannya yakni tembaga dan timah. Hal ini diakibatkan besarnya tekanan dari sisi permintaan akibat dampak pandemi Covid-19. Meskipun begitu, dibukanya lockdown di beberapa negara, diharapkan mampu meningkatkan prospek harga nikel ke depan. 

Wahyu menambahkan, umumnya saat harga melemah China akan masuk untuk mengantisipasi dan memacu inventori harga komoditas. Ditambah lagi, untuk jangka panjang prospek nikel masih cukup baik dengan asumsi perkembangan electronic vehicle (EV) masih cukup tinggi.

Prediksinya, harga nikel akan menguji level resistance lanjutan di US$ 16.000 per ton, setelah berhasil menembus level US$ 15.000 per ton. Akhir tahun ini, Wahyu memperkirakan harga bisa mendarat di kisaran US$ 17.000 per ton, meskipun level resistance sebenarnya berada di US$ 18.800 per ton. 

Baca Juga: Meski ada pandemi, outlook Indonesia ke depan diperkirakan akan terus membaik

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×