Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) secara tidak terduga meningkatkan suku bunga acuan sebesar 25bps menjadi 6%. Meski demikian, para analis memandang laju positif kinerja emiten perbankan masih berlanjut.
Associate Director Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nicodemus mengatakan, pada dasarnya naiknya suku bunga acuan BI akan meningkatkan NIM perbankan. Namun di sisi lain, naiknya suku bunga acuan juga bisa menjadi pedang bermata dua karena berpotensi membuat penyaluran kredit berkurang akibat tingginya bunga pinjaman.
"Selain itu, kenaikan tingkat suku bunga juga akan membuat risiko meningkat karena akan menaikkan beban kepada nasabah peminjaman," ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (29/10).
Baca Juga: Suku Bunga Acuan BI Naik, Cek Rekomendasi Saham Perbankan dari Sejumlah Analis
Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia Muhammad Nafan Aji Gusta melanjutkan, potensi kenaikan kredit bermasalah atawa NPL di tengah tingginya suku bunga terbilang wajar. Bahkan, ia memproyeksikan NPL perbankan naik dengan kenaikan suku bunga acuan ini.
"Potensi NPL naik ada, tetapi masih di 3% dan terbilang wajar sehubungan dengan kebijakan moneter BI yang ketat," sambungnya.
Karenanya, kedua analis sepakat bahwa kinerja emiten perbankan masih progresif di kuartal IV ini. Nafan bilang, katalis pendorongnya adalah stabilitas perekonomian domestik yang bisa mendorong pertumbuhan konsumsi.
Pada November akan ada pengumuman GDP Indonesia yang diperkirakan masih akan stabil di 5%. Selain itu, dari dinamika politik dengan dimulainya kampanye yang akan mendorong tingkat konsumsi masyarakat.
Baca Juga: Cermati Proyeksi IHSG dan Saham Rekomendasi Analis pada Perdagangan Senin (29/10)
Selain itu, juga akan ada permintaan kredit korporasi terkait peningkatan kapabiltas ekspor. Menurut Nafan, meski ekonomi global masih diselimuti ketidakpastian, tetapi fokus ekspor dari Indonesia ke negara-negara yang memiliki fundamental makro ekonomi yang relatif solid dan menunjukkan pemulihan, seperti India, China, dan AS.
Menilik hasil survei permintaan dan penawaran pembiayaan perbankan yang dirilis BI, saldo bersih tertimbang (SBT) penyaluran kredit baru pada September 2023 mencapai 92,6%. Angka itu lebih tinggi dari SBT Agustus di 2023 sebesar 86,2%. Adapun kenaikan berasal berasal dari kredit investasi dan kredit konsumsi.
Analis BRI Danareksa Sekuritas, Victor Stefano juga menilai laju kinerja emiten perbankan masih akan berlanjut. Sebab, pihaknya mencatat total kredit secara agregat untuk bank saja tumbuh 11% secara tahunan (YoY) menjadi Rp 3.502 triliun di 23 Agustus.
Secara bulanan, hanya BBCA yang melaporkan pertumbuhan kredit yang sedikit lebih lambat yaitu 10,1% YoY dari bulan sebelumnya 10,4%.
Baca Juga: Menebak Arah IHSG di Tengah Pelemahan Rupiah dan Rilis Laporan Keuangan
"Sementara itu, bank-bank BUMN melaporkan pertumbuhan kredit yang lebih cepat, seperti BBRI dari 11,2% ke 11,9%. Lalu, BMRI dari 10,2% ke 12,3%, dan BBNI dari 6,9% menjadi 8,5%," terangnya dalam riset, Senin (2/10).
Dari sejumlah emiten perbankan, Victor menjagokan BMRI karena prospek ROAE yang menarik dan manajemen risiko yang baik. Maklum, hanya BMRI yang berhasil menurunkan TD sebesar 1,6% MoM, sementara bank-bank lain mencatatkan kenaikan TD.
Dengan demikian, rasio CASA secara keseluruhan turun menjadi 73,1% di bulan Agustus dari 73,8% di bulan Juli dan 74,6% di bulan Desember.
Baca Juga: Mengintip Kinerja Sejumlah Industri Asuransi pada Kuartal III-2023
Hanya BMRI yang mencatat rasio CASA yang lebih tinggi karena penurunan TD, tetapi pertumbuhan kredit yang lebih tinggi menyebabkan LDR meningkat lebih cepat dibandingkan bank-bank lain.
Sementara, Nico masih memberikan outlook positif untuk big 4 perbankan. Adapun ia merekomendasikan BBCA dengan target harga Rp 10.200, BBRI Rp 6.150, BBNI Rp 5.700, dan BMRI Rp 6.600.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News