Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Tendi Mahadi
Pada November 2019, IPR domestik hanya tumbuh 1,3%, lebih rendah dibandingkan dengan IPR bulan Oktober 2019 yang tumbuh 3,6%. Pun, IPR pada Desember 2019 diperkirakan turun 0,2% secara tahunan.
Namun, salah satu katalis positifnya adalah adanya kenaikan Upah Minimum Regional (UMR)yang seharusnya dapat mendorong pertumbuhan konsumsi.
“Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dari segi kondisi nasional, seperti adanya bencana alam atau hal lain yang tidak terkendali dan dapat menghambat jalur logistik,” terang dia kepada Kontan.co.id, Senin (3/2).
Baca Juga: Agro Yasa Lestari siap IPO di BEI, berapa harga penawarannya?
Selain itu, volatilitas harga komoditas juga akan mempengaruhi biaya dari emiten consumers goods.
Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Mimi Halimin menilai, sebagian besar perusahaan barang konsumsi tanah air masih bergantung pada bahan baku impor. Sehingga, volatilitas komoditas global dan kinerja nilai tukar rupiah terhadap dollar AS merupakan dua faktor utama yang mempengaruhi margin keuntungan.
Mimi mengatakan, sebagian besar harga komoditas lunak (komoditas pertanian) menunjukkan peningkatan harga hingga awal 2020, yang sebagian besar disebabkan oleh kondisi cuaca yang buruk.
Tren kenaikan harga bahan baku yang kuat dinilai dapat menghambat margin profitabilitas emiten barang konsumsi karena akan meningkatkan biaya dan beban. “Namun, seiring kinerja Rupiah masih solid, kami percaya risiko dari kenaikan harga komoditas lunak masih dapat diatasi,” tulis Mimi dalam riset bulan lalu (16/1).
Baca Juga: DMS Propertindo (KOTA) akan garap proyek di dekat ibu kota baru, begini kata analis
Di sisi lain, Frederik menilai penguatan nilai tukar rupiah tidak terlalu berpengaruh signifikan terhadap emiten barang konsumsi apabila penguatan rupiah tidak berlangsung lama. “Karena pembelian bahan baku impor tidak hanya pada 1 atau 2 hari saja, namun sepanjang tahun,” pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News