kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Optimisme konsumen turun, bagaimana prospek emiten sektor consumers goods?


Senin, 03 Februari 2020 / 19:22 WIB
Optimisme konsumen turun, bagaimana prospek emiten sektor consumers goods?
ILUSTRASI. Pekerja melintas di dekat layar pergerakan saham di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jum'at (27/12/2019). Hasil riset yang dilakukan oleh Danareksa Research Institute (DRI) menunjukkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Januari 2020 turun 2,3% menj


Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hasil riset yang dilakukan oleh Danareksa Research Institute (DRI) menunjukkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Januari 2020 turun 2,3% menjadi 102,5. Padahal, pada bulan sebelumnya (Desember 2019), angka survei IKK masih di level 104,9.

Penurunan ini disebabkan oleh penurunan dua komponen utama, yakni Indeks Kondisi Ekonomi (IKE) dan Indeks Ekspektasi Kondisi (IEK). Pada Februari 2020, IKE berada di level 85,6 (turun 4,5% secara month-on-month/mom) dan IEK sebesar 115,2 atau turun 1,1% secara mom.

Baca Juga: Ikuti aksi jual besar-besaran di China, bursa Jepang dan Korea kompak memerah

Dalam risetnya, DRI juga menyatakan bahwa optimisme konsumen terhadap outlook ekonomi dan bisnis domestik juga berkurang hingga enam bulan ke depan. Namun, persentase konsumen yang yakni bahwa pasar tenaga kerja akan stabil naik menjadi 80,3%.

Sementara itu, proporsi konsumen yang yakni bahwa pendapatannya akan meningkat selama enam bulan ke depan juga ikut naik menjadi 25,1%. Indeks sektor consumers goods juga berkinerja kurang apik. Secara year-to-date (ytd), indeks sektor consumers goods telah melemah 3,74%.

Lantas, bagaimana propek sektor barang konsumsi atau consumers goods?

Vice President Research Artha Sekuritas Indonesia Frederik Rasali menilai, emiten sektor consumer goods masih memiliki prospek cerah sepanjang tahun ini. Ia menilai, IKK hanya menunjukkan indikasi keinginan dari konsumen untuk membelanjakan uangnya.

Baca Juga: IHSG melorot 0,94% ke 5.884 pada akhir perdagangan Senin (3/2)

Meski IKK masih berada di level berkembang (di atas 100), di sisi lain pertumbuhan indeks ritel dinilai masih lambat.

Melansir data Bank Indonesia, indeks ritel yang diwakili Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Januari 2019 tumbuh 7,2%. Namun, mendekati akhir 2019, indeks ritel domestik terus merosot.

Pada November 2019, IPR domestik hanya tumbuh 1,3%, lebih rendah dibandingkan dengan IPR bulan Oktober 2019 yang tumbuh 3,6%. Pun, IPR pada Desember 2019 diperkirakan turun 0,2% secara tahunan.

Namun, salah satu katalis positifnya adalah adanya kenaikan Upah Minimum Regional (UMR)yang seharusnya dapat mendorong pertumbuhan konsumsi.

“Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dari segi kondisi nasional, seperti adanya bencana alam atau hal lain yang tidak terkendali dan dapat menghambat jalur logistik,” terang dia kepada Kontan.co.id, Senin (3/2).

Baca Juga: Agro Yasa Lestari siap IPO di BEI, berapa harga penawarannya?

Selain itu, volatilitas harga komoditas juga akan mempengaruhi biaya dari emiten consumers goods.

Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Mimi Halimin menilai, sebagian besar perusahaan barang konsumsi tanah air masih bergantung pada bahan baku impor. Sehingga, volatilitas komoditas global dan kinerja nilai tukar rupiah terhadap dollar AS merupakan dua faktor utama yang mempengaruhi margin keuntungan.

Mimi mengatakan, sebagian besar harga komoditas lunak (komoditas pertanian) menunjukkan peningkatan harga hingga awal 2020, yang sebagian besar disebabkan oleh kondisi cuaca yang buruk.

Tren kenaikan harga bahan baku yang kuat dinilai dapat menghambat margin profitabilitas emiten barang konsumsi karena akan meningkatkan biaya dan beban. “Namun, seiring kinerja Rupiah masih solid, kami percaya risiko dari kenaikan harga komoditas lunak masih dapat diatasi,” tulis Mimi dalam riset bulan lalu (16/1).

Baca Juga: DMS Propertindo (KOTA) akan garap proyek di dekat ibu kota baru, begini kata analis

Di sisi lain, Frederik menilai penguatan nilai tukar rupiah tidak terlalu berpengaruh signifikan terhadap emiten barang konsumsi apabila penguatan rupiah tidak berlangsung lama. “Karena pembelian bahan baku impor tidak hanya pada 1 atau 2 hari saja, namun sepanjang tahun,” pungkas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×