kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.965.000   -10.000   -0,51%
  • USD/IDR 16.830   0,00   0,00%
  • IDX 6.438   38,22   0,60%
  • KOMPAS100 926   8,20   0,89%
  • LQ45 723   5,45   0,76%
  • ISSI 205   2,17   1,07%
  • IDX30 376   1,61   0,43%
  • IDXHIDIV20 454   0,42   0,09%
  • IDX80 105   1,01   0,98%
  • IDXV30 111   0,45   0,40%
  • IDXQ30 123   0,28   0,22%

Obligasi negara atau korporasi, mana yang lebih menarik?


Minggu, 21 Juni 2020 / 12:04 WIB
Obligasi negara atau korporasi, mana yang lebih menarik?
ILUSTRASI. Obligasi korporasi lebih kebal terhadap capital outflow, tetap waspada penurunan rating emiten.


Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Investasi berbasis obligasi bisa menjadi pilihan investasi yang menarik di tengah situasi saat ini. Terlebih, Bank Indonesia (BI) telah kembali memangkas suku bunga acuan dari 4,5% menjadi 4,25%.

Fund Manager Insight Investments Management Nesya F Agustini mengatakan, kondisi pasar keuangan masih akan volatil selama pandemi virus corona belum berakhir. Oleh karena itu, instrumen berbasis obligasi bisa dijadikan pilihan investasi karena pergerakannya yang cenderung lebih stabil dan tidak terlalu fluktuatif seperti instrumen investasi berbasis saham.

Merujuk data Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), secara year to date hingga 19 Juni, obligasi negara menawarkan imbal hasil sebesar 2,90%. Sedangkan obligasi korporasi menawarkan imbal hasil sebesar 3,90%. Lantas, mana instrumen obligasi yang lebih menarik di tengah kondisi saat ini?

Baca Juga: Mau investasi obligasi, mending langsung atau lewat reksadana?

Nesya mengatakan, obligasi negara saat ini didorong katalis positif berupa rendahnya suku bunga acuan di tengah inflasi yang rendah, rupiah yang stabil akibat meningkatnya surplus neraca perdagangan, hingga potensi dana asing kembali ke Indonesia seiring masifnya likuiditas dari pelonggaran moneter yang dilakukan bank sentral global. “Hanya saja, proyeksi pelebaran defisit fiskal hingga ke level 6.34% dari GDP berpotensi menyebabkan kebutuhan financing semakin banyak. Hal ini dapat menimbulkan risiko dari sisi supply surat utang yang pada akhirnya dapat menekan pergerakan harga SBN,” ujar Nesya kepada Kontan.co.id, Minggu (21/6).

Nesya mengatakan obligasi korporasi menawarkan imbal hasil yang lebih menarik dan pergerakan harga yang lebih stabil dibanding obligasi pemerintah. Selain itu, dengan kepemilikan asing yang relatif rendah, maka obligasi korporasi dinilai Nesya cenderung lebih kebal jika terjadi capital outflow.

Baca Juga: IHSG menguat 1,27% pekan ini, bagaimana dengan pekan depan?

“Perlu diingat, obligasi korporasi tengah berada dalam tren penurunan rating surat utang akibat meningkatnya risiko gagal bayar emiten yang bisnisnya terdampak pandemi virus corona. Oleh karena itu, kami menyarankan investor agar tetap menerapkan prinsip selektif dengan memilih emiten yang paling minim terdampak,” jelas Nesya.

Dengan masing-masing kelebihan dan kekurangan, Nesya mengungkapkan pemilihan jenis obligasi pada akhirnya tergantung dengan kebutuhan dan profil investasi masing-masing investor.

Jika investor menyukai instrumen yang lebih aman dan jangka waktu investasinya menengah-panjang, Nesya menyebut obligasi pemerintah jadi pilihan yang lebih cocok. Tetapi, indikasi imbal hasil yang ditawarkan cenderung lebih rendah dibanding obligasi korporasi.

“Namun, jika investor membutuhkan alternatif untuk yield hunting maka obligasi korporasi menjadi pilihan tepat. Pasalnya, obligasi korporasi punya imbal hasil yang lebih menarik dan tidak rentan terhadap risiko outflow dana asing,” tambah Nesya.

Baca Juga: Sepekan menguat 0,23%, analis prediksi pekan depan rupiah tetap perkasa

Lebih lanjut, dengan memperhatikan berbagai indikator seperti pergerakan suku bunga BI, nilai tukar rupiah, level CDS 5 tahun Indonesia, serta arah pergerakan yield US Treasury 10 tahun, Nesya memproyeksikan imbal hasil obligasi pemerintah benchmark 10 tahun bisa mencapai 6,5% sampai 7%.

“Untuk obligasi korporasi, imbal hasil dapat dihitung berdasarkan yield obligasi SUN sebagai benchmark dan credit spread dengan menyesuaikan tenor dan rating dari obligasi korporasi tersebut,” pungkas Nesya.

Baca Juga: Penerbitan sukuk global akan mengerek cadangan devisa hingga US$ 1,5 miliar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×