Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah ketidakpastian ekonomi yang tinggi, obligasi kini dinilai lebih menarik dibandingkan instrumen investasi dengan risiko tinggi.
Kepala Divisi Riset Ekonomi PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), Suhindarto, mengatakan bahwa ketidakpastian ekonomi mendorong investor untuk lebih berhati-hati dan menghindari risiko.
Oleh karena itu, banyak investor memilih untuk mengamankan aset mereka dengan instrumen yang lebih aman, seperti emas dan obligasi.
"Dalam kondisi seperti ini, investor cenderung menghindari risiko dan beralih ke instrumen yang lebih stabil," ujar Suhindarto kepada Kontan.co.id, Senin (17/2).
Baca Juga: Penjualan ORI027 Meningkat Jelang Penutupan, Investor Masih Fokus pada Tenor Pendek
Kinerja Obligasi Lebih Positif Dibandingkan Saham
Kinerja pasar mencerminkan sentimen tersebut. Per 14 Februari 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 6,24% sejak awal tahun (YTD).
Sementara indeks obligasi pemerintah naik 2,09% YTD dan indeks obligasi korporasi naik 1,99% YTD.
Obligasi pemerintah mendapat return lebih tinggi karena ketidakpastian yang ditimbulkan oleh kebijakan-kebijakan luar negeri, seperti kebijakan ekonomi Trump dan fluktuasi rupiah yang mempengaruhi aktivitas ekonomi.
Suhindarto menjelaskan bahwa ketidakpastian ini lebih berdampak pada pasar saham dan obligasi korporasi, sementara obligasi pemerintah lebih banyak dipengaruhi oleh kebijakan fiskal pemerintah.
Kebijakan penghematan anggaran yang baru-baru ini diterapkan menjadi katalis positif bagi pasar obligasi pemerintah.
"Penghematan anggaran akan mengurangi tekanan terkait dengan potensi peningkatan pasokan utang, yang dapat memperburuk defisit anggaran dan jumlah utang yang jatuh tempo," jelasnya.
Baca Juga: Mencermati ORI
Prospek Positif untuk Pasar Obligasi Indonesia
Sinyal pelemahan ekonomi juga tercermin dalam turunnya tingkat inflasi yang berada di bawah target Bank Indonesia (BI).
Hal ini meningkatkan kekhawatiran tentang kinerja perusahaan yang berdampak pada persepsi investor terhadap pasar saham dan obligasi korporasi.
Namun, prospek pasar obligasi dinilai positif. Suhindarto menambahkan bahwa jika Trump berhasil mendorong The Fed untuk memangkas suku bunga, ini dapat menurunkan yield US Treasury, yang akan menjadi sentimen positif bagi yield obligasi di dalam negeri.
"Jika premi yang diminta oleh investor asing tetap stabil, maka yield dalam negeri akan turun seiring penurunan yield di AS," tambahnya.
Selain itu, penurunan yield di AS dapat mendorong investor global untuk mencari outlet baru dengan imbal hasil lebih tinggi.
Indonesia menjadi salah satu tujuan utama aliran modal, bersama dengan India, karena Indonesia memiliki perratingan investment grade dan menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara dengan peringkat BBB.
Baca Juga: Obligasi Menjadi Pilihan Investor di Tengah Volatilitas Pasar
Potensi Arus Modal Masuk ke Indonesia
Suhindarto mengatakan, keunggulan ini pada akhirnya akan menarik arus modal ke pasar domestik, yang akan membantu menurunkan fluktuasi rupiah dan mengurangi risiko translasi.
Sebelumnya, Reuters melaporkan bahwa beberapa trader berharap regulator akan segera meninjau Supplementary Leverage Ratio (SLR), aturan yang mewajibkan bank-bank besar AS untuk memiliki lapisan tambahan modal penyerap kerugian terhadap utang pemerintah AS dan deposito bank sentral.
Perubahan kebijakan ini dapat mendorong imbal hasil Treasury AS lebih rendah.
Baca Juga: Investasi Masuk Rp 20 Triliun, Cek Cara Beli ORI 027 Kupon 6,75% Sebelum Ditutup
Pilihan Tenor Pendek dalam Ketidakpastian
Dalam kondisi ketidakpastian ini, Suhindarto juga memandang bahwa tenor pendek akan lebih banyak diburu oleh investor karena lebih kurang rentan terhadap perubahan suku bunga dan ketidakpastian ekonomi.
"Tenor pendek lebih menarik karena risikonya lebih rendah dibandingkan tenor panjang," tutupnya.
Selanjutnya: Banyak Sentimen Mendorong Harga Emas Global
Menarik Dibaca: Jenis Limit KUR BSI 2025 dan Cara Pengajuan Pinjaman Syariah untuk UMKM
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News