Reporter: Umi Kulsum | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Sejak awal tahun, manajer investasi (MI) gencar menerbitkan produk reksadana pendapatan tetap baru. Penambahan produk jenis reksadana ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan reksadana lainnya.
Mengacu data Infovesta Utama, jumlah produk reksadana yang beredar di pasar pada akhir April 2017 sebanyak 1.368 produk. Jumlah tersebut telah bertambah 42 produk baru dari posisi Januari 2017 yang mencapai 1.326 produk. Reksadana pendapatan tetap merupakan jenis reksadana yang bertambah paling banyak, yakni 11 produk (lihat tabel).
Yang terbaru, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) meluncurkan reksadana pendapatan tetap syariah yang bertajuk Manulife Syariah Sukuk Indonesia (MSSI). Legowo Kusumonegoro, Presiden Direktur MAMI, mengatakan, MSSI menawarkan potensi imbal hasil yang lebih tinggi dibanding deposito syariah.
Produk ini juga sekaligus memberikan dividen kepada investornya. Investor dapat memanfaatkan produk ini sebagai tempat untuk menyiapkan dana ibadah haji maupun umroh, ujar Legowo melalui rilis resmi, Kamis (11/5).
Reksadana MSSI ini nantinya menginvestasikan 850% dari aset yang dikelola ke sukuk pemerintah maupun korporasi. Sisanya akan ditempatkan pada instrumen pasar uang syariah, dengan jangka waktu di bawah 1 tahun. MAMI mematok modal investasi awal yang tidak besar, yakni cuma Rp 10.000.
Manajer investasi lain yang meluncurkan produk reksadana pendapatan tetap anyar adalah BNI Asset Management (BNI-AM). Sesuai pengumuman Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) pada 10 Mei lalu, produk baru milik BNI AM tersebut bertajuk Dana Pendapatan Tetap Kastara. Produk tersebut menggandeng Bank CIMB Niaga sebagai bank kustodian.
Investor IKNB
Research & Investment Analyst Infovesta Utama Wawan Hendrayana menjelaskan, wajar jika reksadana jenis pendapatan tetap paling banyak meluncur di semester I-2017. Menurut dia, manajer investasi ingin memanfaatkan momen pemberlakuan aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) soal kewajiban institusi keuangan non bank berinvestasi di surat berharga negara (SBN) atau obligasi perusahaan pelat merah.
Menurut kebijakan tersebut, lembaga keuangan seperti dana pensiun dan asuransi wajib melakukan penempatan investasi minimal 30% pada SBN. Kebanyakan lembaga keuangan memenuhi kewajiban itu melalui reksadana daripada memegang SBN sendiri. Ini yang memicu pertumbuhan signifikan pada produk reksadana pendapatan tetap, terang Wawan.
Apalagi, fundamental ekonomi Indonesia mendukung. Suku bunga dalam negeri saat ini terbilang rendah. Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan 4,75% meski The Fed menaikkan suku bunga pertengahan Maret lalu. Sehingga investor memang banyak yang mencari alternatif investasi yang memberikan imbal hasil di atas deposito.
Permintaan reksadana pendapatan tetap juga cukup banyak. Sebab, investor mencari instrumen investasi yang memberikan imbal hasil cukup besar, dengan tingkat risiko minimal. Apalagi, sejak awal tahun hingga April 2017, pasar obligasi terus membaik.
Tengok saja pergerakan Indonesia Composite Bond Index (ICBI) yang disusun oleh Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA). Sejak awal tahun hingga April lalu, ICBI sudah menguat 6,94%. Harganya saat ini bagus, apalagi ada potensi lembaga pemeringkat utang Standard & Poor's menaikkan rating surat utang dalam negeri ke level investment grade pertengahan tahun ini, kata Wawan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News