kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.468.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

MI belum berminat bundel Bond Index


Jumat, 21 November 2014 / 08:05 WIB
MI belum berminat bundel Bond Index
ILUSTRASI. Spesifikasi dan harga Apple Vision Pro.


Reporter: Wahyu Satriani | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Peluncuran indeks obligasi atau Indonesia Bond Indexes (INDOBex) belum menarik minat manajer investasi untuk mengemasnya sebagai aset dasar alias underlying asset produk. Alasannya, indeks ini belum likuid.

Seperti diketahui, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bekerjasama dengan Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) akan menerbitkan indeks obligasi ini di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Jumat (21/11). Wahyu Trenggono, Direktur IBPA, mengatakan, tahap awal, ada tiga indeks yang akan diterbitkan. Ketiganya adalah INDOBex Composite Total Return, INDOBex Government Total Return, dan INDOBex Corporate Total Return. "Indeks ini akan dicatatkan di BEI, sehingga bisa menjadi acuan pasar obligasi di Indonesia," ujarnya.

Menurut Wahyu, bond index akan membawa dampak positif, karena fungsinya akan seperti indeks harga saham gabungan (IHSG) di pasar saham. Selama ini, belum ada indeks resmi yang bisa dijadikan indikator untuk mengukur kinerja pasar obligasi. Masing-masing institusi membuat indeks, sehingga bisa terjadi misleading indikator.

Kepala Eksekutif Pengawasan Pasar Modal OJK Nurhaida menyebutkan, selain tiga indeks ini, ke depan berpeluang terbit indeks obligasi turunan, seperti indeks sektoral. "Ada sekitar 15 indeks yang akan diluncurkan," ujarnya. Sejauh ini manajer investasi belum berminat menjadikan indeks obligasi ini sebagai aset dasar produk. Misalnya, Indo Premier Investment Management yang merupakan pemain exchange traded fund (ETF) saham.

Diah Sofiyanti, Direktur Indo Premier Investment Management bilang, obligasi cenderung sulit memperoleh kuotasi harga, karena diperdagangkan melalui over the counter (OTC). Padahal, ETF membutuhkan likuiditas dan kuotasi terus menerus selama jam transaksi bursa. "Pembentukan harga obligasi tak bisa dilihat langsung sehingga tidak bisa kuotasi harga. Makanya, sampai saat ini kami belum membahas produk berbasis indeks obligasi," katanya, Kamis (20/11).

Belum likuid

Selain itu, pasar saham juga lebih likuid dibandingkan obligasi. Jadi, membesut ETF berbasis obligasi berisiko menjadikan produk tersebut tidak likuid. "Aset dasar ETF saham terdiri dari saham-saham likuid, makanya ETF-nya likuid," papar Diah.

Dari sisi return , ETF berbasis obligasi juga berpeluang mencetak return lebih rendah dibandingkan saham. Bahana TCW Investment Management, yang memiliki ETF berbasis obligasi bertajuk Asian Bond Fund (ABF) Indonesia Bond IndexFund juga belum berniat membungkus bond index ini. "Kami masih fokus dengan produk yang ada," kata Direktur Utama Bahana TCW Investent Management Edward Lubis.

Ia mengaku, ETF yang sudah ada saja kurang likuid, dan jarang ditransaksikan di pasar sekunder. Saat ini, dana kelolaan produk tersebut relatif kecil, sekitar 7% dari total dana kelolaan atau setara Rp 1,8 triliun. Setali tiga uang dengan BNI Asset Management. Reita Farianti, Direktur Utama BNI Asset Management, menilai obligasi masih ada masalah di likuiditas. "Jadi kami belum berencana membundel bond index tersebut," katanya.

Kendati demikian Reita bilang, indeks tersebut dapat menjadi alternatif acuan menggantikan Indeks Dealer Market Association (IDMA) atau HSBC Bond Index. Head of Operation and Business Development Panin Asset Management Rudiyanto menyebut, pihaknya masih fokus mengelola produk open end berbasis saham. Jadi, belum ada rencana menerbitkan ETF atau reksadana indeks berbasis obligasi.

Minimnya penerbitan ETF atau reksadana indeks berbasis obligasi juga karena butuh modal besar untuk membeli satu obligasi, yakni minimal Rp 1 miliar. "Padahal peraturan menyatakan reksadana harus memutar minimal di 10 jenis surat utang. Jadi modalnya besar," ujar Rudiyanto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×