Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Sepanjang Januari 2016, emiten konstruksi pelat merah telah berhasil memperoleh kontrak baru dari sejumlah proyek. Adapun total kontrak baru yang dikantongi tiga emiten mencapai Rp 3,47 triliun. Jumlah ini tumbuh 107% dibanding dengan perolehan kontrak baru pada periode yang sama tahun sebelumnya yakni Rp 1,67 triliun.
Kendati secara total masih tumbuh dibanding tahun lalu, tidak semua emiten mencatatkan pertumbuhan perolehan kontrak anyar selama bulan pertama tahun ini. Jika PT Pembangunan Perumahan Tbk (PTPP) berhasil mencatatkan pertumbuhan pencapaian kontrak anyar dua kali lipat, PT Adhi Karya Tbk (ADHI) melonjak 6 kali lipat, namun kontrak baru PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) justru tercatat turun 52%.
PTPP sepanjang bulan pertama berhasil mengantongi kontrak anyar Rp 849 miliar. Ini memang baru 2,7% dari target yang dipatok tahun ini yakni Rp 31 triliun. Namun, perolehan tersebut tumbuh signifikan dibanding pencapaian Januari 2015 yang hanya tercatat sebesar Rp 382 miliar.
Kontrak baru PTPP diantaranya diperoleh dari proyek Mobile Power Plant (MPP) 500 MW GE, terminal building and Parking Raden Inten Lampung, dan proyek Kamojang 55 MW Geothermal Power Plant West Java.
Sedangkan ADHI telah mengantongi kontrak baru Rp 1,1 triliun. Meskipun baru sekitar 4,3% dari target yang dipatok tahun ini yakni Rp 25,1 triliun, namun itu tumbuh enam kali lipat dibandingkan perolehan di Januari 2015 yang hanya mencapai Rp 192 miliar. Perolehan kontrak anyar ADHI tersebut didominasi oleh proyek swasta dengan kontribusi 46,9%. Sementara proyek pemerintah berkontribusi 26,5%, dan proyek BUMN menyumbang 26,6%.
Adapun rincian kontrak baru yang didapat ADHI antara lain proyek pembangunan rusun Bojong Rp 241,7 miliar di Bogor, Pekerjaan struktur dan arsitektur pembangunan fasilitas produksi gedung Pharma I dan gedung Utility pabrik PT Kimia Farma Rp 136,5 miliar di Bandung, dan pembangunan fakultas teknik UNHAS di Makassar Rp 129 miliar.
Sementara WIKA hanya mengantongi kontrak baru Rp 526 miliar sepanjang Januari atau baru 1% dari target kontrak anyar yang dipatok Rp 52,2 triliun tahun ini. Ini turun 52% dibanding dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat Rp 1,1 triliun.
Proyek yang didapat WIKA diantaranya Jalan Elevatod Maros Bine. Porsi WIKA 60% dari total nilai proyek sebesar Rp 152 miliar. Lalu proyek jalan tol Solo semarang senilai Rp 85 miliar, proyek Jalan tol Manado Bitung Rp 170 miliar serta kontrak baru yang didapat melalui anak usahanya PT Wika Beton Tbk (WTON) dan lain-lain sebesar Rp 180 miliar.
Emiten swasta sepi kontrak baru
Berbeda dengan emiten BUMN, perolehan kontrak baru emiten konstruksi swasta sebulan pertama tidak menggembirakan. Sebagian besar emiten justru belum berhasil mengantongi kontrak anyar seperti PT Total Bangun Persada Tbk (TOTL), PT Nusa Konstruksi Enjiniring Tbk (DGIK), PT Acset Indonusa Tbk (ACST) dan PT Nusa Raya Cipta Tbk (NRCA).
Nihilnya pencapaian kontrak baru selama Januari tersebut lantaran emiten konstruksi swasta lebih fokus mengincar proyek-proyek swasta. Sedangkan proyek swasta terutama dari properti di awal tahun masih belum menunjukkan taringnya.
Mahmilan Sugiono, Sekretaris Perusahaan TOTL mengatakan performa perolehan kontrak anyar perseroan bulan pertama tahun ini sama dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Tahun lalu, TOTL baru bisa memperoleh kontrak baru di bulan Maret. "Kita fokusnya tetap di proyek swasta. Sementara proyek-proyek swasta di bulan pertama masih belum banyak," jelasnya.
Senada dengan Mahmilan, Maria Cesilia, Sekretaris Perusahaan ACST menilai sepinya perolehan kontrak baru tersebut karena secara historis perolehan kontrak baru di awal tahun memang masih belum banyak. Namun jika dibanding tahun lalu, performa perolehan kontrak anyar perseroan memang mundur. Di Januari 2015, ACST justru telah mendapat kontrak baru Rp 109,12 miliar.
Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri menilai prospek emiten konstruksi tahun ini cukup cerah karena karena akan didorong oleh proyek-proyek pemerintah. Menurutnya, upaya pemerintah mempercepat pembangunan infrastruktur akan menjadi ladang besar bagi emiten-emiten konstruksi.
Senada, Edwin Sebayang, Kepala Riset MNC Securitas menilai prospek sektor kontruksi tahun ini akan cerah. Pasalnya, proyek yang akan digarap perusahaan konstruksi akan lebih besar mengingat anggaran untuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dalam APBN 2016 tumbuh 50% dari anggaran tahun 2015.
Selain itu, lanjut Edwin, upaya pemerintah mendorong infrastruktur dengan membangun proyek transportasi massal tahun ini serta target pembangunan 1.060 kilometer (Km) hingga 2019 akan mendorong pertumbuhan sektor konstruksi tahun ini. "Ini ditambah lagi dengan ongkos logistik nasional yang akan turun 4% tahun ini," ujar Edwin.
Sedangkan Hans melihat emiten yang paling diuntungkan dari proyek-proyek pemerintah adalah BUMN konstruksi. Sedangkan pertumbuhan emiten swasta menurutnya akan cenderung lambat karena mengandalkan proyek-proyek swasta. Sedangkan ekspansi swasta akan cenderung wait and see melihat perkembangan ekonomi dan realisasi proyek pemerintah.
Oleh karena itu Hans melihat cukup wajar jika bulan pertama tahun ini emiten swasta belum mendapat proyek baru. "Saat ini ekonomi juga masih cenderung melambat dan biasanya proyek swasta juag baru mulai di Februari atau Maret," jelasnya.
Proyek pemerintah sebetulnya juga berdampak positif terhadap emiten swasta memberikan multi layer efek bagi sektor swasta. Jika proyek infrastruktur berjalan maka swasta juga akan ekspansi.
Lebih lanjut, Hans menilai rendahnya perolehan kontrak baru yang didapat WIKA karena masih tertundanya proyek kereta Api cepat Jakarta-Bandung.
Menurutnya perlambatan perolehan kontrak baru WIKA tersebut hanya sementara. Dirinya optimis proyek tersebut bisa berjalan sehingga ke depan pencapaian kontrak anyar emiten tersebut akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya realisasi proyek pemerintah.
Menurutnya, prospek emiten konstruksi BUMN secara bisnis akan sama tahun ini. Namun dari sisi saham, Hans melihat saham ADHI berpeluang tumbuh tinggi karena Price Earning Ratio (PER)nya sangat murah saat ini.
Hans menilai tantangan emiten BUMN saat ini adalah dari sisi nilai tukar. Rupiah dikhawatirkan akan berfluktuasi karena faktor gejolak ekonomi China, kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga secara bertahap tahun ini dan kekhawatiran terjadi currency war. "Kalau rupiah tertekan maka proyek yang banyak menggunakan material impor akan terganggu," jelasnya.
Edwin merekomendasikan buy untuk seluruh saham emiten konstruksi dengan target harga PTPP Rp 4.530, ADHI Rp 2.700, WSKT Rp 2.400 dan WIKA Rp 3.150. Hans juga merekomendasikan buy dengan target harga masing-masing Rp 4.500, Rp 3.300, Rp 2.300 dan Rp 4.350.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News