Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Harga emas masih berpeluang naik di tengah ancaman kebijakan Trump. Konflik geopolitik dan pembelian dari bank sentral global menjadi katalis positif bagi harga logam mulia.
Analis PT Finex Bisnis Solusi Future Brahmantya Himawan melihat, emas pada awal minggu ini menunjukkan sedikit pemulihan menjelang keputusan suku bunga the Fed. Meskipun, logam mulia masih belum lepas dari bayang - bayang Trump Trade yang membuat geliat pada dolar AS (USD).
‘’Katalis positif untuk emas kian bertumbuh dari sentimen Suriah yang telah berganti Rezim, ketegangan politik di Korea Selatan dan memanasnya Ukraina - Rusia juga turut memberi dorongan bagi emas,’’ kata Bram kepada Kontan.co.id, Senin (16/12).
Baca Juga: Prospek Harga Emas Antam yang Naik di Tengah Penurunan Harga Emas Global
Selain itu, pembelian kembali oleh Bank Sentral China turut memberi dorongan positif bagi kenaikan harga emas. Mengutip Bloomberg, Senin (16/12), pukul 20.30 WIB, emas berada di level US$ 2.662 per ons troi yang menguat 0,54% secara harian.
Bram menjelaskan, kebijakan Trump dapat mempengaruhi penguatan USD yang berpotensi membawa inflasi dan membatasi penurunan suku bunga. Pada akhirnya, kondisi inflasi dan suku bunga tinggi ini berpotensi menjadi penghalang naiknya harga emas.
Meski demikian, emas masih memiliki banyak katalis positif dan masih diperdagangkan dalam tren naik di jangka waktu menengah dan panjang. Emas diperkirakan masih berpotensi naik menuju harga psikologis US$ 2.800 per ons troi.
Analis Dupoin Indonesia Andy Nugraha menilai, kebijakan ekonomi AS yang kuat memang dapat membatasi kenaikan harga emas. Salah satu faktor utama adalah rencana tarif dari Presiden AS terpilih, Donald Trump, yang diperkirakan akan memicu inflasi lebih lanjut dan menunda pelonggaran kebijakan Federal Reserve (The Fed).
Baca Juga: Harga Logam Industri Terpapar Perang Dagang China dan Eropa
‘’Ekonomi AS yang kuat akan mendukung penguatan dolar AS. Dengan ekspektasi ekonomi yang lebih kuat, ruang untuk penurunan suku bunga semakin kecil, sehingga mengurangi daya tarik emas sebagai aset safe haven,’’ sebut Andy dalam risetnya, Senin (16/12).
Andy melihat, para pelaku pasar menunggu rilis data Indeks Manajer Pembelian (IMP) AS untuk bulan Desember pada hari Senin. Data ini akan memberikan indikasi lebih lanjut tentang kesehatan ekonomi AS dan arah kebijakan moneter The Fed.
Perhatian juga tertuju pada pertemuan The Fed pada hari Rabu, di mana bank sentral diperkirakan akan menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin. Pernyataan dari Ketua The Fed, Jerome Powell, akan menjadi sorotan utama, karena dapat memberikan petunjuk tentang kebijakan moneter AS untuk tahun 2025.
Namun meski kini berada dalam tren bearish, Andy memandang bahwa permintaan yang signifikan dari bank sentral dan ketegangan geopolitik dapat mendukung kenaikan jangka pendek harga emas.
Baca Juga: Menakar Prospek Harga Emas Tahun Depan di Tengah Ketidakpastian Global
Ketegangan geopolitik terus menjadi pendorong utama pergerakan harga emas. Teranyar, pemerintah Israel mengumumkan rencana untuk melipatgandakan populasi di Dataran Tinggi Golan yang diduduki.
Langkah Israel tersebut dipandang sebagai respons terhadap ancaman dari Suriah, sehingga meningkatkan kekhawatiran geopolitik di wilayah tersebut. Ketidakpastian ini mendorong pelarian ke aset safe haven seperti emas.
Selain itu, lanjut Andy, permintaan besar dari bank-bank sentral juga memberikan dorongan positif bagi harga logam mulia. Bank sentral telah menjadi pembeli emas selama hampir 15 tahun terakhir, menekankan peran emas sebagai lindung nilai dari krisis dan aset cadangan yang dapat diandalkan.
Baca Juga: Sempat Mengalami Penurunan, Cermati Prospek Harga Emas Hingga 2025
‘’Data dari World Gold Council memproyeksikan bahwa tren pembelian ini akan terus berlanjut, sehingga mendukung harga emas hingga tahun 2025,’’ tutur Andy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News