Reporter: Yuliana Hema | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penyedia indeks global, Morgan Stanley Capital International (MSCI) berencana untuk mengubah kriteria saham-saham Indonesia yang berkaitan dengan masalah likuiditas.
Berdasarkan pengumuman yang dirilis 11 April 2025, MSCI mengusulkan untuk tidak memasukkan saham-saham yang terkena pengumuman Unusual Market Activity (UMA) dari Bursa Efek Indonesia.
Dan/atau mengecualikan saham-saham yang muncul di Papan Pemantauan Khusus karena kriteria 10 (yang berkaitan dengan pergerakan harga yang tidak biasa) selama tinjauan indeks berlangsung.
Baca Juga: Keluar dari Indeks MSCI, Begini Rekomendasi Saham Emiten Prajogo Pangestu
Adapun MSCI sedang meminta masukan kepada pelaku pasar terkait usulan tersebut. Usulan akan diterima hingga 20 Juli 2025 dan akan diumumkan keputusannya paling lambat 11 Juli 2025.
Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan Bursa Efek Indonesia Kristian Manullang menyampaikan perubahan kriteria tersebut sepenuhnya merupakan wewenang dari MSCI. "Untuk saat ini, Bursa belum memiliki rencana untuk melakukan perubahan kriteria UMA," jelas dia kepada Kontan, Senin (14/3).
Kristian menjelaskan UMA dan tindakan pengawasan lainnya bukan suatu sanksi kepada pihak manapun, tetapi bentuk perlindungan investor dengan menginformasikan kepada investor.
Dimana, terjadi pergerakan harga atau pola transaksi yang tidak biasa sehingga investor dapat mempertimbangkan kembali keputusan investasinya pada saham tertentu.
Baca Juga: Saham BREN, CUAN dan PTRO Melonjak Usai Dikabarkan Tak Masuk Indeks MSCI Mei 2025
"Bursa juga sudah dan sedang membangun komunikasi dengan pihak terkait yang relevan termasuk dengan pihak MSCI," kata Kristian.
Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy mengatakan, sebenarnya kriteria yang ditetapkan MSCI merupakan kewenangan mereka.
"Untuk itu, BEI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu transparan dalam memutuskan emiten yang dikenakan UMA hingga haircut jika ingin meningkatkan likuiditas," tuturnya.
Parto Kawito, Direktur Infovesta Utama mengatakan dirinya kurang setuju atas kebijakan BEI tentang papan pemantauan khusus atau full call auction (FCA) sejak awal ketentuan tersebut diberlakukan.
"Kalau sampai FCA dipakai oleh MSCI wajar karena transparansi harga dan broker memang sangat kurang. UMA dan FCA menjadi pengganggu likuiditas pasar saham karena kurang transparansi," ucap dia.
Baca Juga: MSCI Umumkan Tiga Saham Ini Tak Masuk Indeks, Begini Efeknya ke IHSG
Untuk ketentuan UMA, sebenarnya Parto tidak masalah. Namun dia mencermati lebih banyak saham yang dikenakan status UMA ketika saham naik kencang ketimbang yang harga sahamnya turun tajam.
Parto menyarankan untuk papan pemantauan khusus atau FCA sebaiknya ditiadakan dan biarkan harga terendah bisa mencapai Rp 1 per saham. Selain itu, kode broker juga bisa dibuka kembali.
"Kode broker juga perlu di buka demi transparansi dan mengurangi resiko informasi bocor, jika ada ditutupi sehingga adil untuk yang tidak mengetahuinya," katanya.
Selanjutnya: Harga Batubara Turun, Cek Prospek dan Rekomendasi Saham Indo Tambangraya (ITMG)
Menarik Dibaca: 5 Makanan untuk Daya Tahan Tubuh Lebih Kuat di Musim Hujan, Tidak Gampang Sakit!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News