Reporter: Dina Farisah | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Pengumuman kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi akan dilakukan di kantor Menteri Koordinator Perekonomian malam ini (21/6). Menyambut keputusan tersebut, investor di pasar modal perlu mengantisipasinya dengan melakukan penyesuaian portofolio.
Sebab, kenaikan harga BBM subsidi bisa memicu inflasi karena melambungkan harga-harga kebutuhan pokok. Akibatnya, dana menganggur yang selama ini diparkir ke dalam instrumen investasi bisa tergerus, karena harus menambal kebutuhan pokok yang naik.
Perencana Keuangan Shildt Consulting, Risza Bambang mengungkapkan, dampak kenaikan BBM mendorong investor melakukan perubahan anggaran. Hal yang paling mudah dilakukan untuk merespons kepanikan adalah mencairkan investasinya.
Ada beberapa alasan investor mencairkan investasinya. Pertama, untuk menambal kebutuhan pokok. Kedua, sebagai dana untuk berjaga-jaga. Ketiga, untuk dipindahkan kepada instrumen yang lebih menguntungkan.
“Begitu inflasi naik, bunga deposito juga ikut naik. Investor akan memarkirkan sementara dananya pada deposito,” tutur Risza, Jumat (21/6). Menurutnya, investor perlu merelokasi aset secepatnya kepada instrumen yang memiliki daya tahan terhadap inflasi.
Instrumen itu antara lain emas, surat utang negara (SUN). Adapun investor yang memiliki dana berlebih bisa memarkirkan asetnya pada properti. Risza merekomendasikan, 70% aset dibenamkan pada instrumen investasi yang rendah risiko, seperti deposito, SUN, reksadana pendapatan tetap, dan emas.
Investasi rendah risiko ini umumnya memiliki imbal hasil yang kecil. Namun keunggulannya adalah mudah dicairkan kapanpun. Sementara, sisanya bisa dialokasikan pada instrumen tinggi risiko seperti saham dan reksadana saham.
Untuk pemilihan saham dan reksadana saham, ia menyarankan investor masuk pada sektor-sektor infrastruktur, pertambangan, perbankan, konsumer, dan properti. Sebab, sektor tersebut akan melesat seiring pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sementara itu, perencana keuangan dari Finansial Consulting, Eko Endarto menilai, investor akan mengevaluasi investasi jangka panjang. Dalam kondisi seperti ini, investor memindahkan investasi jangka panjangnya kepada instrumen yang lebih agresif.
Tujuannya, agar dapat memberikan imbal hasil lebih besar lagi sebagai kompensasi naiknya ekspektasi inflasi. Investor juga dapat mengurangi kepemilikannya pada investasi jangka panjang untuk mencukupi kebutuhan pokok yang harganya meroket.
Eko mengelompokkan porsi portofolio berdasarkan tingkat usia. Bagi investor usia 20 tahun sampai 30 tahun, dapat memarkirkan 10% portofolionya pada investasi jangka pendek seperti kas dan deposito. Sebesar 15% total aset dialokasikan investasi jangka menengah seperti emas, obligasi negara ritel (ORI), reksadana pendapatan tetap, serta 75% portofolio bisa ditempatkan pada saham maupun reksadana saham.
Untuk tingkat usia 30 tahun-50 tahun, Eko menyarankan 70% aset dibenamkan pada investasi jangka panjang. 20% aset bisa diparkir pada investasi jangka menengah. Sisanya, ditempatkan pada investasi jangka pendek.
Bagi investor dengan usia 50 tahun ke atas, lanjut Eko, bisa mengalokasikan 55% asetnya pada investasi jangka menengah. 30% aset diisi dengan investasi jangka panjang. Sisanya dibenamkan pada investasi jangka pendek.
Eko menyarankan investor masuk pada sektor saham komoditas dan konsumer. Sebab, dalam jangka panjang, sektor ini akan kembali bergairah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News