Reporter: Arief Ardiansyah, Harris Hadinata, Aceng Nursalim, Anastasia Lilin Y | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Fenomena ini tak sering terjadi. Saat harga saham dan investasi berbasis saham sedang bagus, eh, ada investasi lain yang turun. Ini terjadi saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menembus level psikologis 5.000 dua pekan lalu. Di saat bersamaan, harga emas dunia berada di level terendah tahun ini.
Bagi sebagian investor, fenomena ini bisa memunculkan keragu-raguan dalam melangkah. Merealisasikan keuntungan dari bursa lantas membeli emas? Rasanya tak semudah dan sesederhana itu. Yakinkah Anda bahwa IHSG sudah lelah mencetak rekor? Percayakah Anda bila harga emas tidak turun lebih dalam lagi?
Pengamat investasi dari Panin Asset Management Rudiyanto mengakui posisi IHSG saat ini memang sudah tinggi. Tapi, kalau melihat pergerakan IHSG, dana asing juga masih terus masuk. Dia menilai, IHSG bergerak pada kisaran 5.100 --5.200 serta masih wajar.
Sebaiknya, dalam berinvestasi, seseorang memiliki horison jangka panjang. Rudi memisalkan, selisih 5.000 ke 5.200 itu tidak sampai 5%. Artinya, bila terwujud, kenaikan yang terjadi sebenarnya tak terlalu besar. Makanya, dia meyakini IHSG masih bisa terus naik dalam jangka panjang. “Apalagi didukung fundamental ekonomi yang memang kuat,” kata Rudi.
Di sisi lain, Senior Consultant dari PT. Finera Prosperindo Edbert Suryajaya menimpali, potensi kenaikan IHSG juga menyimpan potensi turun sama besarnya. Satu berita jelek dari luar atau dalam negeri, walau sebenarnya tidak signifikan, bisa menjadi pemicu penurunan IHSG. “Saya melihat tanda naik atau turun bursa kita tidak jelas. Kebanyakan investor tidak tahu,” kata Edbert.
Dari dunia perencanaan keuangan, perencana keuangan dari Finansia Consulting Eko Endarto mengatakan, perubahan pasar seperti apa pun mestinya tak mempengaruhi pola investasi investor yang sudah memiliki tujuan jelas terhadap duit yang mereka benamkan selama ini. “Investor yang benar pasti sudah memiliki portofolio investasi yang jelas dan sudah direncanakan secara matang,” kata Eko.
Namun, bukan berarti investor boleh melewatkan begitu saja peluang menarik di depan mata. Ketika IHSG sedang melaju dan emas melempem seperti saat ini, misalnya, Eko menawarkan dua strategi. Pertama, investor bisa memanfaatkan peluang dengan cara memindahkan dana dari investasi berbasis saham ke emas.
Tapi, Eko mengingatkan agar investor tak terlalu bernafsu melepas seluruh saham ke emas dan selalu mengingat tujuan finansial jangka panjang mereka. Eko mengkategorikan emas sebagai instrumen investasi jangka menengah, sedangkan saham sebagai instrumen investasi jangka panjang.
Karena itu, Eko menyarankan batas maksimal pengalihan dana dari saham ke emas adalah 30%. Sisanya, biarkan dana mengendap hingga mencapai tujuan investasi yang sudah dirancang. “Kalau harga emas sudah di atas Rp 510.000 per gram, aksi pemindahan dana ini sebaiknya dihentikan,” kata Eko.
Potensi keuntungan yang lebih besar, dengan risiko yang tak kalah besar, adalah investasi emas di bursa berjangka. Juni Sutikno, analis Philip Futures, menyebut, aksi beli emas setelah turun mulai terlihat dan secara teknikal mampu mengangkat harga emas.
Tapi, investasi emas di pasar berjangka ini cocok buat investor berduit tebal dan bernyali maksimal. Bagi investor seperti ini, Juni menilai, sekarang saat yang tepat untuk ikut bermain memanfaatkan momen naik-turun. “Sangat disayangkan jika punya modal besar tapi tidak masuk,” kata Juni.
Strategi kedua dari Eko adalah memperbesar penambahan dana (top up) pada emas. Dengan kata lain, Anda membiarkan investasi berbasis saham tetap seperti adanya dan menambah dana investasi untuk membeli emas.
Terus berinvestasi saja
Independent Financial Advisor PT. Fahima Advisory Fauziyah Arsiyanti sependapat dengan Eko, bahwa investor tak perlu mengubah strategi investasi. Namun, bila Anda merasa investasi pada produk berbasis saham sudah menghasilkan cuan yang cukup besar, silakan saja merealisasikan keuntungan tersebut dan dipindahkan ke produk investasi lain yang sedang murah. “Tapi, hanya untungnya saja, lo, yang dijual. Jangan mengurangi pokok investasi yang sudah ditanam,” kata perencana keuangan bersapaan akrab Zizi ini.
Dalam berinvestasi, Zizi juga penganut paham dollar cost averaging. Artinya, investasi sedikit demi sedikit asal rutin tak kalah besar potensi keuntungannya dibanding langsung berinvestasi dengan dana besar. Dalam kasus ini, dia memisalkan investor yang rutin berinvestasi reksadana saham Rp 2.000.000 per bulan. Anggap investasi sudah jalan 12 bulan dan terkumpul Rp 24 juta.
Setahun terakhir, IHSG tumbuh nyaris 20%. Anggap saja investasi Rp 24 juta ini juga berimbal hasil sama dan kini total uang di reksadana saham sudah Rp 28,8 juta. Nah, saran Zizi, selisih investasi ini saja yang Anda realisasikan untuk berpindah ke produk lain.
Sementara, Roy Sembel, guru besar ekonomi keuangan IPMI Business School, berpendapat investor tak perlu panik dan ragu menatap fenomena investasi saat ini. “Kondisi ini sinyal bagi investor untuk melakukan diversifikasi terhadap portofolio investasi,” kata Roy.
Memindahkan portofolio dalam dunia investasi memang sah-sah saja. Head of Investment AAA Asset Management Siswa Rizali mengatakan, salah satu prinsip dalam investasi, adalah diversifikasi produk. Investor menyebar investasi dalam berbagai portofolio untuk mendapatkan imbal hasil yang maksimal. Cara memilih portofolio antara lain dengan menghitung valuasi. “Kalau murah kita beli, kalau sudah mahal kurangi,” kata Siswa.
Kondisi IHSG yang sudah naik tinggi dan harga emas yang turun ini memungkinkan investor mengubah komposisi portofolio dengan mengurangi saham, lalu mengalokasikan dana ke aset-aset yang masih underperform. Salah satunya, emas. Tapi, beda investasi emas dengan saham atau obligasi terletak pada valuasi. “Valuasi saham atau obligasi itu jelas. Kalau emas, bisa dihitung tapi agak susah,” kata Siswa.
Dalam meracik portofolio investasi, investor harus mempertimbangkan preferensi dan karakter risiko tiap orang yang berbeda. Tapi, secara umum, dalam kondisi harga saham sudah tinggi, Siswa mengatakan, boleh saja investor mengurangi nilai investasi di saham.
Siswa menyarankan, porsi investasi pada saham untuk saat ini cukup berada di kisaran 30% - 50%, jangan sampai lebih. Sisa dana investasi bisa Anda tempatkan ke aset-aset likuid, seperti deposito.
Usul mengurangi porsi investasi pada produk berbasis saham juga keluar dari Vice President Syailendra Capital Mulia Santoso. Dalam kondisi seperti ini, dia menyarankan investor untuk mengambil posisi defensif di saham. “Untuk strategi defensif, maksimal investasi di saham 40%,” katanya.
Selain preferensi dan karakter risiko, Roy menambahkan dua poin lagi yang perlu diperhatikan investor sebelum melakukan diversifikasi portofolio. Pertama, tetap mengacu pada kebutuhan dan rencana yang telah disusun investor. Kondisi pasar bisa tiba-tiba berubah dan mengagetkan investor. Untuk itu, investor harus selalu berkepala dingin dan fokus pada kebutuhan dan rencana.
Kedua, model berinvestasi. Dengan mengacu pada kebutuhan di masa depan yang sudah terencana dengan apik, investor harus tetap mempertahankan model investasi mereka secara rutin.
Fokus pada rencana dan tujuan investasi ini menjadi alasan Rudi tidak menyarankan reba-lancing investasi. “Kalau tujuan investasi lebih mungkin tercapai dengan portofolio yang sekarang dipakai, ya, tidak perlu rebalancing,” kata Rudi.
Direktur Pengembangan Bisnis PT Manulife Asset Manajemen Indonesia Putut Endro Andanawarih membenarkan, rebalancing portofolio itu terjadi bila instrumen investasi seseorang tidak bisa lagi memberikan hasil sesuai keinginan untuk mencapai tujuan investasi. Dia bilang memang benar IHSG sudah naik tinggi dan harga emas turun, tapi investor harus berhitung potensi ke depan dari sisi harga dan imbal hasil.
Bagi Putut, mengalihkan investasi ke emas belum tentu menjadi solusi atas kondisi saat ini. Alasannya, tak mudah bagi investor untuk melihat sisi fundamental emas. Harga emas bergerak karena faktor risiko. “Kalau risk on, orang lari ke emas. Kalau risk off, orang jual-jual emas,” kata Putut.
Makanya, tambah Siswa, pengetahuan investor terbatas tentang fundamental produk investasi dan tidak terlalu bisa menganalisa secara dalam, jadi yang penting adalah melakukan investasi dengan disiplin. “Kunci investasi itu mencari instrumen yang memberikan imbal hasil yang lebih besar dari inflasi dan lakukan secara rutin,” kata Siswa.
Intinya, dalam kondisi pasar apa pun, stay investing!
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 31 - XVII, 2013 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News