kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kinerja Sejumlah Emiten Ini Dibayangi Fluktuasi Rupiah, Simak Rekomendasi Sahamnya


Minggu, 03 Juli 2022 / 10:45 WIB
Kinerja Sejumlah Emiten Ini Dibayangi Fluktuasi Rupiah, Simak Rekomendasi Sahamnya


Reporter: Ika Puspitasari | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengetatan kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) mendorong penguatan dolar serta meningkatkan kekhawatiran depresiasi mata uang rupiah. Pelemahan nilai tukar rupiah ini memberikan dampak negatif untuk sejumlah emiten pasar modal.

Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandu Dewanto mengatakan, nilai kurs Rupiah yang terus bergerak melemah tentu menjadi sentimen negatif bagi para emiten yang memiliki eksposur besar terhadap nilai tukar. Apalagi, emiten memiliki utang yang didominasi oleh mata uang dolar AS karena secara otomatis nilai pokok dan bunganya akan meningkat.

"Sehingga ini berpotensi menimbulkan kerugian kurs, risiko ini meningkat jika selama ini belum melakukan hedging," kata Pandu pada Kontan, Kamis (30/6).

Sebagai informasi, Jumat (1/7), kurs spot rupiah ditutup melemah 0,27% ke Rp 14.943 per dollar Amerika Serikat (AS). Alhasil, dalam sepekan terakhir, kurs rupiah di pasar spot melemah 0,63%. Level rupiah kemarin menjadi level terlemah sejak Juni 2020. 

Baca Juga: Saham-saham Big Cap Ini Banyak Dilepas Asing dalam Sepekan, Ini Rekomendasi Sahamnya

Tren serupa juga terjadi di kurs referensi Jisdor Bank Indonesia (BI). Kurs JISDOR ditutup di level Rp 14.956 per dollar AS, terkoreksi 0,50%. Sementara jika dihitung dalam sepekan, kurs JISDOR sudah turun sebesar 0,74%.

Menurut Pandu, nilai tersebut juga mendekati level tertinggi dalam 2 tahun terakhir. Ia bilang resistance ada di kisaran Rp 14.975, jika tekanan capital outflow berlanjut, berpotensi menuju kisaran Rp 15.265.

Sebenarnya, kata Pandu, kondisi rupiah jika dibandingkan dengan kurs beberapa Negara tetangga relatif cukup kuat, namun ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan seperti harga komoditas yang sudah mulai bergerak turun. Padahal, selama ini menjadi penopang kuatnya neraca dan pertumbuhan ekonomi Indonesia, karena memiliki komoditas sebagai produk eksport andalan.

Dalam risetnya Selasa (14/6), Lembaga pemeringkat Moody's menuliskan ada beberapa emiten yang rentan terhadap pelemahan rupiah. Misalnya ada emiten pengembang properti PT Modernland Realty Tbk (MDLN), selanjutnya ada PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI), dan PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN).

Kemudian, ada emiten produsen ban PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL), emiten konsumer PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP). Riset tersebut menjelaskan bahwa MDLN dan ASRI terkena depresiasi rupiah karena hampir semua utang emiten dalam mata uang dolar AS. Dimana sebagian besar tidak dilindungi nilai atau hedging.

Baca Juga: Simak Rekomendasi Saham Modernland Realty (MDLN) Usai Melemah dalam Sepekan

Tak hanya itu, kedua emiten ini juga tidak memperoleh pendapatan dalam dolar AS untuk memenuhi biaya pembayaran utang. Sementara untuk APLN, emiten ini emiliki sekitar 52% utang dalam dolar AS dan rentan lantaran posisi likuiditas perusahaan yang sudah lemah.

Moody's menyebut APLN akan membutuhkan pinjaman eksternal untuk menutupi biaya bunga jika rupiah melemah lebih lanjut.

Kemudian untuk GJTL, 65% dari arus kas produsen ban ini berada dalam rupiah. Sedangkan, GJTL mempunyai 50%-60% utang dalam dolar AS dan sebagian besar biaya operasional dan belanja modalnya dalam mata uang dolar AS. Sebagai tambahan, senior secured notes sebesar US$ 175 juta dan pinjaman modal kerja sebesar US$ 26 juta GJTL tidak dilindungi nilai.

Lalu untuk emiten konsumer ICBP menghasilkan pendapatan sebesar 70%-75% dalam rupiah. Sementara, hampir semua utang ICBP dalam mata uang dolar AS dengan biaya yang signifikan dalam mata uang dolar AS untuk impor bahan baku.

 

Lebih lanjut, obligasi ICBP senilai US$ 2,75 miliar tidak dilindungi nilai. Meski demikian, ada beberapa hal yang meringankan karena jatuh tempo surat utang yang lama hingga tahun 2031. Itu berarti tidak ada kebutuhan pembiayaan kembali dalam waktu dekat.

Selain MDLN, ASRI, APLN, GJTL, ICBP, Pandu menjelaskan emiten lain yang memiliki porsi utang besar dalam dolar antara lain PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR), PT Pakuwon Jati Tbk (PWON), PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA), PT Delta Dunia Makmur Tbk (DOID), dan PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC).

"Besaran utang valas ini dapat berbahaya jika emiten tidak melakukan hedging," jelas Pandu.

Ia bilang, meski secara operasional membukukan kinerja yang solid, namun dapat dengan mudah tergerus dengan kerugian kurs yang menimpa. Bahkan, tidak jarang akan membuat para emiten membukukan bottom line negatif akibat besarnya porsi hutang dalam struktur modal mereka.

Menurutnya, hedging sangat penting untuk dilakukan oleh para emiten, terutama menghadapi resiko penguatan dolar yang diperkirakan masih akan berlanjut hingga beberapa waktu mendatang, mengingat strategi The Fed yang lebih agresif dalam memerangi inflasi.

Berdasarkan prospek bisnis, Pandu memandang MEDC cukup menarik sejalan dengan peningkatan kinerja operasional, sejak akuisisi blok corridor awal tahun ini dari Conoco Phillips. Kinerja emiten ini semakin terdongkrak oleh kenaikan harga minyak dan gas sehingga laba melonjak tajam.

Namun, kata Pandu, memang ada konsekuensi dari aksi korporasi tersebut dimana nilai hutang juga ikut meningkat, hal tentu mendatangkan risiko yang lebih besar terutama pada masa seperti saat ini, dimana kurs dolar dalam tren menguat.

Pandu menilai, MEDC masih cukup menarik dengan target 12 bulan ke depan Rp 850. Sedangkan untuk emiten lain, ia menyarankan pelaku pasar untuk cenderung wait and see lebih dulu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×