Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Yudho Winarto
Alfred menjelaskan IHSG yang disusun dari 657 emiten yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) memiliki kapitalisasi pasar serta harga sahamnya berdasarkan pergerakannya secara historikal dan ekspektasi pasar.
Nah, banyak saham-saham penopang IHSG pada tahun ini cukup tertekan karena sentimen politik yang beredar di pasar atau memang secara teknikal mesti turun karena sebelumnya sudah sempat naik.
Alfred bilang salah satu faktor yang membuat valuasi IHSG juga tertinggal dengan indeks negara lain karena composite index di Indonesia belum mewakili pasar Indonesia keseluruhan.
Baca Juga: Mari Bernostalgia, Mengingat Gonjang-Ganjing Tahun 2011
Misalnya saja Perusahaan Listirk Negara (PLN) sebagai penyumbang besar perekonomian nasional tidak terdaftar di Bursa. Alhasil, pertumbuhan IHSG hanya 1,63% agak jauh jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang sudah 5% secara year to date.
Berbeda dengan Amerika yang pertumbuhan ekonominya sejalan dengan indeks bursanya. Sebab hampir seluruh perusahaan yang jadi penggerak ekonomi nasional sudah tercatat di bursa sehingga kinerja indeksnya inline dengan pertumbuhan ekonomi negaranya.
Kendati demikian, walau valuasi IHSG terpantau lebih rendah dari indeks negara lainnya, Price Earning Ratio (PER) IHSG di atas PER indeks lainnya yakni di level 20 kali.
Melansir data dari Bloomberg, PER indeks DJI berada di 16,37 kali, kemudian FTSE di 17,64 kali, adapun indeks Nikkei posisi PER-nya di 16,98 kali. Lalu, Hang Seng PER-nya di 10,32 kali dan Shanghai posisi PER indeksnya hanya di 14,04 kali.
Baca Juga: IHSG menguat mendekati 6.300 pada akhir perdagangan sesi I
Berbeda dengan Thailand yang PER indeksnya yakni SE Thai mendekati Indonesia yakni di 18,06 kali.
Wawan menyatakan kalau melihat valuasi PER IHSG yang posisinya di atas dari rata-rata global memang secara valuasi agak mahal.
Namun, kalau menurut Alfred meskipun PER-nya lebih tinggi dari indeks negara lainnya, bisa dibilang kalau PER IHSG lebih murah jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Asal tahu saja, pada 2018 PER IHSG sempat menyentuh level 25 kali dan tahun ini sudah bisa turun di level 20 kali. Artinya, meskipun laba emiten tumbuh, tapi dari sisi harga saham tidak mengalami pertumbuhan signifikan.
Baca Juga: IHSG naik, ini rekomendasi saham Profindo Sekuritas untuk perdagangan Rabu (30/10)
Faktor lain yang membuat PER IHSG lebih tinggi karena emiten penopang IHSG mampu tumbuh double digit, sedangkan di negara lainnya belum mampu tumbuh layaknya perusahaan di Indonesia.
Selain itu, bisa juga karena faktor stabilitas ekonomi negaranya. Artinya pasar bisa membuat valuasi tinggi atau premium karena faktor bertahannya ekonomi domestik di tengah ketidakpastian global yang berlangsung.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News