Reporter: Dupla Kartini | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Emiten konglomerasi grup Astra mengawali tahun ini dengan rapor cukup menggembirakan. Empat dari enam perusahaan mampu memupuk keuntungan pada kuartal pertama. Hanya dua perusahaan yang labanya mengecil.
Mari lihat performa PT Bank Permata Tbk (BNLI). Per Maret 2019, emiten yang mayoritas sahamnya dikuasai PT Astra International Tbk (ASII) dan Standard Chartered Bank ini mengantongi laba bersih Rp 377,36 miliar, naik 130,60% year on year (yoy). Pertumbuhan laba tertinggi di grup Astra.
Kenaikan pendapatan BNLI pada periode tersebut sejatinya hanya sekitar 10%. Namun, nilai kerugian penurunan nilai aset keuangan (impairment) yang mengecil berhasil mendongkrak perolehan laba. Per Maret 2019, nilai impairment hanya Rp 107 miliar, turun signifikan dibanding periode yang sama tahun lalu, sebesar Rp 464 miliar. Artinya, kualitas kredit bank yang masuk kelompok BUKU 3 ini membaik.
Sedangkan, PT United Tractors Tbk (UNTR) jawara dari sisi pendapatan. Pertumbuhan pendapatan emiten kontraktor tambang dan alat berat ini naik 19% secara tahunan. Sejumlah lini usaha menyumbang kenaikan pendapatan. Apalagi, lini bisnis baru, pertambangan emas mulai menghasilkan. Asal tahu saja, akhir tahun lalu, UNTR mengakuisisi PT Agincourt Resources, pemilik tambang emas Martabe di Sumatra Utara. Kapasitas produksi tahunan diperkirakan 350.000 oz.
Sejalan dengan kenaikan pendapatan, UNTR bisa menikmati pertumbuhan laba bersih dobel digit, yakni 20% di kuartal pertama tahun ini.
Performa UNTR yang moncer juga jadi salah satu penyokong kinerja PT Astra International Tbk (ASII) sebagai induk usaha. Apalagi, bisnis utamanya di sektor otomotif juga membaik. Per Maret, penjualan mobil nasional naik 10,4% dibandingkan bulan sebelumnya. ASII mampu memperlebar penguasaan pasar alias market share menjadi 52,9% dari posisi akhir tahun lalu, 50,6%. Alhasil, pendapatan ASII sepanjang kuartal I-2019 naik 6,78%. Kendati ada lonjakan pada biaya keuangan dan rugi kurs, emiten ini masih mencetak kenaikan laba bersih 4,70%.
Kinerja emiten grup Astra lainnya, PT Astra Otoparts (AUTO) juga cukup apik. Kendati pendapatan produsen suku cadang ini hanya naik 2,7%, namun laju keuntungannya lebih tinggi, yaitu sekitar 9,15%. Sebab, beban usaha terutama penjualan lebih rendah dan beban keuangan turun signifikan hingga 100%.
Masih loyo
Kinerja PT Astra Graphia Tbk (ASGR) pada triwulan pertama 2019 kurang maksimal. Kendati pendapatan naik dobel digit hampir 16%, keuntungannya turun lebih tajam mencapai 27%. Salah satu pemicunya operasional bisnis yang kurang efisien. Beban pokok pendapatan naik hingga 21%, sehingga laba kotor hanya naik kurang dari 1%. Belum lagi, biaya keuangan membengkak lebih dari 100%.
Nasib PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) lebih buruk. Harga komoditas minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) yang masih lesu di pasar global menyulitkan anak usaha ASII ini mengungkit kinerja. Pendapatan AALI turun 4,81%.
Padahal, beban pokok pendapatan tetap naik. Terutama biaya pengolahan, perawatan infrastruktur dan peralatan kerja. Kinerja semakin berat, sebab beban usaha ikut naik khususnya biaya pengiriman dan ongkos angkut. Dus, keuntungan AALI merosot 89%.
Saham jagoan
Bagi investor, kinerja laba yang solid tentu jadi pertimbangan penting memilih emiten. Sebab, di saat kenaikan harga saham tak cukup moncer, ada potensi investor mendapatkan dividen dari hasil laba.
Tahun lalu, hasil laba yang apik mendorong hampir semua emiten Grup Astra menebar dividen kepada para pemegang saham. Hanya BNLI yang
puasa dividen.
Dari enam emiten grup Astra, sejumlah analis paling menjagokan kinerja ASII, UNTR dan BNLI. Apa saja pertimbangan para analis? Simak ulasan berikut ini.
1. UNTR
Pada kuartal I-2019, mayoritas lini bisnis berperan mendongkrak pendapatan UNTR. Lini usaha kontraktor tambang melalui PT Pamersada Nusantara masih menjadi kontributor terbesar bagi pendapatan emiten ini, yaitu 42%. Pendapatan unit bisnis ini per Maret 2019 meningkat 20%. Sebab, volume produksi batubara dan pekerjaan pemindahan tanah (overburden removal) meningkat.
Lini bisnis tambang batubara juga masih meraih kenaikan pendapatan, meski volume penjualan turun. Ini lantaran harga jual batubara kokas lebih tinggi. Segmen usaha ini menyumbang 16% bagi pendapatan UNTR. Apalagi, lini bisnis baru tambang emas mulai menghasilkan. Di kuartal I-2019, tambang Martabe menyumbang pendapatan bersih Rp 1,9 triliun atau berkontribusi 8% untuk UNTR.
Alhasil, meski bisnis penjualan truk dan alat berat turun, pendapatan UNTR masih kokoh. Kuartal I-2019, pendapatan dari bisnis truk dan alat berat yang banyak digunakan di sektor tambang, turun 2% secara tahunan. Penjualan melandai karena imbas penurunan harga batubara kalori rendah-menengah.
Chris Apriliony, analis Jasa Utama Capital Sekuritas menyebut, harga batubara yang masih terus turun jadi tantangan UNTR. Sebab, selain berefek pada bisnis penjualan batubara juga bisa mengurangi permintaan alat berat untuk kebutuhan pertambangan. Toh, Chris masih optimistis, kinerja UNTR akan solid pada tahun ini. Sebab, ada diversifiikasi pendapatan dari tambang emas. “Harga komoditas emas lebih stabil dibandingkan harga batubara,” kata dia.
Dalam catatan KONTAN. UNTR membidik produksi emas tahun ini sebanyak 350.000 oz. Sampai Maret 2019, total penjualan emas dari tambang Martabe sebanyak 97.000 oz.
Analis Kresna Securities Robertus Hardy dalam riset 25 April 2019, memperkirakan tambang emas akan menyumbang pendapatan Rp 7,08 triliun pada tahun ini, dengan proyeksi volume penjualan 360.000 oz.
Estimasi Robertus, pertumbuhan pendapatan UNTR pada tahun ini sekitar 7% menjadi Rp 90,89 triliun. Laju pertumbuhan tak sebesar tahun lalu yang mencapai 31%. Ini dengan pertimbangan pendapatan dari bisnis alat berat dan jasa pertambangan bisa lebih rendah. Laba bersih diestimasi naik 20% tahunan menjadi Rp 13,34 triliun. Pertumbuhan laba lebih rendah dari 2018 yang mencapai 50%. Tapi, margin laba bersih meningkat dari tahun lalu 13% menjadi 15% pada 2019.
Sedangkan, hitungan Chris, pendapatan UNTR tahun ini masih bisa naik 25%, dengan laba bersih tumbuh 20%.
Chris dan Robertus sama-sama merekomendasikan beli UNTR dengan target harga akhir tahun ini di Rp 32.000. Hasil konsensus analis yang disurvei Bloomberg, harga UNTR dalam 12 bulan di Rp 33.921.
2. ASII
Kinerja ASII akan terdorong sejalan pulihnya permintaan otomotif. Pada Maret lalu, penjualan mobil nasional mulai naik dan terlihat menjanjikan. Franky Rivan, analis Kresna Securities mengatakan, sebelumnya, konsumen wait and see di tengah hajatan politik. “Setelah Lebaran, semester kedua, penjualan otomotif akan picking up,” tutur dia.
Pertumbuhan kinerja ASII juga akan terbantu performa anak-anak usahanya, terutama UNTR. Hanya saja, bisnis perkebunan AALI jadi tantangan. Menurut Franky, bisnis CPO belum memiliki katalis positif. Toh, kontribusinya bagi ASII tidak signifikan, hanya 5%.
Kepala Riset Narada Asset Management Kiswoyo Adi Joe sependapat, kontribusi dari UNTR dan bisnis otomotif masih jadi andalan ASII. Penjualan otomotif sudah mulai stabil setelah Pemilu. Penjualan kendaraan nasional akan naik setidaknya 5%.
Hitungan Franky, tahun ini, ASII bisa menghasilkan pendapatan Rp 242,47 triliun, naik 1,4% yoy. Namun, margin laba bersih diestimasi membaik dari 9,1% pada 2018 menjadi 9,5% pada tahun ini. Dus, laba bersih berpotensi naik 6,3% menjadi Rp 23,04 triliun. Sinyal perbaikan margin sudah mulai terlihat pada kuartal I-2019. Margin laba bersih ASII mencapai 8,7%, lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya hanya 7,2%.
Menurut riset JP Morgan Sekuritas Indonesia, 24 April 2019, margin distribusi otomotif ASII di triwulan I-2019 membaik didorong bauran produk yang lebih baik. Tapi, margin manufaktur mobil turun, karena biaya bahan baku lebih tinggi dan volume produksi rendah. Kendati begitu, margin manufaktur mobil setahun penuh berpeluang membaik seiring kenaikan volume produksi. Di sisi lain, kuatnya margin distribusi bakal berlanjut, sebab belum terlihat rencana kompetitor merilis varian baru.
Dengan estimasi perolehan laba cukup solid, Franky memperkirakan, ASII akan kembali menebar dividen dengan payout ratio sekitar 40% dari laba bersih. “Tahun ini ekspektasi dividen Rp 230 per saham, dengan yield 3%,” prediksi dia.
Nah, dengan potensi fundamental yang solid dan potensi dividen, saham ASII menarik dikoleksi. Franky menargetkan hingga akhir tahun ini, harga ASII bisa mencapai Rp 8.900. Penurunan harga saat ini dinilai karena pengaruh makro dan pelemahan bursa saham.
Kiswoyo menargetkan harga ASII sampai akhir tahun ini di level Rp 9.000. Menurut konsensus analis hasil survei Bloomberg, dalam 12 bulan ke depan, harga ASII mencapai Rp 8.675.
3. BNLI
Performa BNLI yang apik pada triwulan pertama diperkirakan bakal berlanjut. Chris Apriliony menyebut, Permata fokus memperbaiki kualitas kredit, setelah mengalami kerugian besar pada 2016 silam. “Sehingga seharusnya pertumbuhan laba bisa bertahan full year 2019,” ujar dia.
Meski begitu, masih ada tantangan terkait ekonomi yang cenderung tidak stabil dan pergerakan suku bunga yang bisa saja memberatkan perbankan.
Menurut Alvin Michael Baramuli, analis RHB Securities Indonesia, pertumbuhan laba BNLI ditopang perbaikan kualitas aset kredit. Ini terlihat dari mengecilnya kerugian penurunan nilai aset keuangan.
Di kuartal I-2019, rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) Permata di level 3,8%, mengecil dibanding akhir 2018 sebesar 4,4%. Tapi, tingkat NPL masih di atas rata-rata NPL industri 2,6%–2,7%. “Sisi positifnya, masih ada ruang menurunkan rasio NPL. Sedangkan, NPL industri saat ini sudah stabil,” jelas Alvin.
Perkiraan dia, NPL BNLI pada akhir tahun ini bisa turun ke kisaran 3%–3,5%. Bank yang tengah jadi target akuisisi oleh Bank Mandiri ini sudah mengurangi porsi kredit sektor komoditas, yang menjadi pemicu NPL membengkak hingga 9% pada 2016. Permata akan fokus di sektor konsumer dan UKM. Pertumbuhan kredit juga diperkirakan melaju, setelah BNLI mengerem penyaluran kredit di tahun lalu. Pertumbuhan kredit diperkirakan sebesar 7%–9%, dari posisi kuartal I-2019 masih sekitar 4,6%.
Dari sisi harga saham, BNLI sudah naik tajam sejak menjadi target akuisisi. Terlepas dari jadi atau tidaknya konsolidasi bank, Alvin menyebut, historis kinerja BNLI memang sudah membaik. Konsolidasi perbankan akan lebih berdampak meredam persaingan perebutan dana. “Fundamental BNLI sudah lebih bagus dibanding tiga tahun lalu. ROE kuartal I- 2019 sebesar 7%, tahun sebelumnya masih 4%,” jelas dia.
Hitungan Alvin, tahun ini, BNLI bisa meraih laba bersih Rp 1,02 triliun, naik 13,6% dari laba tahun lalu. Maka, dia merekomendasikan beli, dengan target harga tahun ini Rp 1.400.
Prediksi Chris, dengan adanya rencana akuisisi, saham BNLI bisa menuju kisaran Rp 1.150 hingga Rp 1.200.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News