Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Persepsi risiko investasi atawa Credit Default Swap (CDS) tenor 5 tahun Indonesia naik pada awal bulan Februari ini. Hal tersebut ditandai dengan koreksi rupiah, pelemahan harga obligasi serta pasar saham yang tergelincir. Diperkirakan, penurunan di pasar keuangan dalam negeri masih akan berlanjut di tengah ketidakpastian yang tinggi.
Senior Economist KB Valbury Sekuritas, Fikri C. Permana mengatakan, kondisi saat ini cenderung dipengaruhi faktor eksternal, dari implementasi kebijakan tarif impor Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap Kanada, Meksiko dan China.
Kebijakan tarif Trump ini meningkatkan perang dagang, terlebih setelah Kanada melakukan balasan dengan meningkatkan tarif 0,75%, termasuk ke beberapa komoditas dari AS.
"Ini sepertinya menjadi kekhawatiran bahwa negara-negara lain juga akan melakukannya, termasuk Indonesia dan kemungkinan ini yang juga masih diantisipasi oleh market global," ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (3/2).
Baca Juga: Persepsi Risiko Investasi (CDS) Indonesia Kembali Naik, Ini Sentimen yang Menyeretnya
Di tengah ketidakpastian itu, penurunan kinerja instrumen investasi di Indonesia diperkirakan berlanjut. Fikri menyebut, cukup sulit untuk memproyeksikan secara gamblang lantaran kondisi non ekonomi.
"Peluang penurunan 5% dari posisi saat ini untuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), lalu untuk rupiah depresiasinya bisa lebih dari itu," sebutnya.
Kepala Ekonom BCA, David Sumual sependapat bahwa faktor utama dari pelemahan rupiah, harga surat utang, dan saham akibat materialisasi tarif Trump yang diratifikasi Sabtu lalu. Selain itu dari respons tarif balasan Kanada, Meksiko dan China.
"Dengan tingginya volatilitas dalam pasar keuangan cukup sulit menentukan katalis pendukung dengan jelas," sebutnya.
Karenanya, David menilai alokasi investasi pada surat berharga dan kas dapat menurunkan risiko kerugian investor. "Terdapat juga peluang bagi ekuitas untuk naik jika terdapat perubahan lebih lanjut pada situasi geopolitik," sambungnya.
Fikri juga menilai prospek surat utang, khususnya jangka pendek bisa dilirik untuk menghindari volatilitas yang tinggi saat ini. Sementara untuk saham, investor bisa memanfaatkan momentum penurunan dengan harga yang murah, apalagi ia melihat sejumlah saham yang fundamental baik dengan harga murah.
Baca Juga: Instrumen Investasi di Indonesia Rontok Tertekan Faktor Eksternal
"Tapi, investor sebaiknya wait and see satu sampai dua pekan ke depan untuk mendapatkan harga yang lebih bagus," sebutnya.
Fikri menilai sektor konsumer dapat dicermati didorong peningkatan daya beli dengan adanya momentum Lebaran.
Momentum Lebaran juga diperkirakan memberikan efek positif ke sektor perbankan dengan potensi peningkatan kredit konsumsi. Lalu, sektor pertambangan ataupun perkebunan, khususnya yang memiliki pendapatan dengan dolar AS, mengingat posisi rupiah yang terdepresiasi.
Di sisi lain, untuk emas Fikri menilai memang positif kinerjanya, tetapi sangat tergantung pada sentimen. Untuk saat ini, ia juga belum melihat permintaan yang lebih banyak secara fundamental.
"Lebih kepada pergeseran dari aset berisiko ke 'less risk', dalam hal ini emas. Jadi, saya melihat emas masih akan ada volatlitas yang besar, ditambah harganya yang sudah cukup tinggi. Saya khawatir saat sudah mulai risk on, emas mungkin ditinggalkan," imbuhnya.
Selanjutnya: CEO Nvidia Jensen Huang Jual Saham Besar-besaran Setiap Hari, Investor Cemas
Menarik Dibaca: Jadwal KRL Jogja-Solo Pada 4 Sampai 5 Februari 2025, Catat Moms!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News