kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.621.000   -3.000   -0,18%
  • USD/IDR 16.439   -134,00   -0,82%
  • IDX 7.030   -79,14   -1,11%
  • KOMPAS100 1.029   -15,21   -1,46%
  • LQ45 811   -12,07   -1,47%
  • ISSI 210   -1,76   -0,83%
  • IDX30 421   -5,12   -1,20%
  • IDXHIDIV20 507   -5,69   -1,11%
  • IDX80 117   -2,09   -1,76%
  • IDXV30 121   -1,30   -1,06%
  • IDXQ30 139   -1,68   -1,20%

Persepsi Risiko Investasi (CDS) Indonesia Kembali Naik, Ini Sentimen yang Menyeretnya


Senin, 03 Februari 2025 / 21:11 WIB
Persepsi Risiko Investasi (CDS) Indonesia Kembali Naik, Ini Sentimen yang Menyeretnya
ILUSTRASI. Persepsi Risiko Investasi (CDS) Indonesia tenor 5 tahun naik ke level 76,14 di awal Februari ini


Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Persepsi risiko investasi atawa Credit Default Swap (CDS) tenor 5 tahun Indonesia naik di awal bulan Februari 2025. Faktor eksternal dari kebijakan tarif dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan faktor risiko dari domestik menjadi pendorongnya.

Berdasarkan data World Government Bonds, CDS 5 tahun Indonesia berada di 76,14 pada Rabu (3/2). Angka itu naik dari akhir Januari 2025 yang berada di 74,74.

Direktur Eksekutif Center of Economic and law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, peningkatan risiko tak hanya dari eksternal saja.

Dari dalam negeri, ada program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang anggarannya akan ditingkatkan dan kapasitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dipertaruhkan.

Kemudian ada efisiensi anggaran, sekitar Rp 300an triliun dan banyak yang melihat jika efisiensi anggarannya untuk MBG, yang dinilai tidak bisa mendorong ekonomi domestik.

Justru, Bhima menilai langkah itu berpotensi blunder ke ekonomi daerah, seperti hotel dan MICE yang turun.

Baca Juga: Aliran Modal Asing Keluar Indonesia Rp 820 Miliar Akhir Januari 2025

Selain itu, nomenklatur kementerian yang gemuk. Bhima mencontohkan, mengenai koordinasi perizinan dengan kasus investasi Apple yang tak kunjung terealisasi.

"Jadi ini banyak yang melihat domestik tidak mampu menangkap peluang karena kompleksitas perizinan dan koordinasi dari nomenklatur yang gemuk," ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (3/2).

Lanjutnya, dikhawatirkan banyak perusahaan-perusahaan yang mau relokasi, mungkin dari efek tarif antara AS dengan China akhirnya tidak ke Indonesia.

"Jadi malah mengulang kesalahan lagi seperti era Trump yang pertama karena tidak ada satu pun perusahaan yang relokasi industri ke Indonesia," tegasnya.

Kemudian daya beli, yang mana Bhima menuturkan data inflasi Indonesia yang rendah di Januari 2025. Namun, hal itu menjadi tanda tanya mengapa masyarakat tidak berbelanja.

Sementara di sisi lain, harga listrik sudah diberikan diskon 50%, PPn 12% juga dibatalkan, dan usia produktif juga tinggi karena bonus demografi. Sehingga ia menilai ada anomali dan mengindikasikan ada masalah terkait daya beli masyarakat.

"Jadi, sudah faktor eksternal buruk, domestiknya juga belum support," lanjut dia.

Bhima juga menilai penurunan kali ini juga baru permulaan. Menurutnya, penurunan masih berpotensi berlanjut, tetapi masih harus melihat kembali perkembangan, mengingat negara-negara yang dikenakan tarif sudah membicarakan mengenai aksi balasan. 

Prospek investasi di Indonesia

Di sisi lain, Bhima melihat terdapat beberapa sentimen positif. Misalnya, dari hubungan dengan Timur Tengah yang mana negara-negara dari Timur Tengah mulai banyak investasi membantu program prioritas pemerintah.

"Jadi Timur Tengah ini potensi besar untuk menggantikan melemahnya ekonomi China dan keluarnya AS dari berbagai kesepakatan," katanya.

Sentimen lainnya dari kebijakan pemerintah, seperti program 3 juta rumah yang diharapkan mendorong sektor properti, refokus sejumlah infrastruktur, swasembada pangan dan energi.

Dari sejumlah hal itu, Bhima menilai dari sektor riil akan terjadi pergeseran investasi. Dari sebelumnya di sektor mineral, khususnya nikel, diperkirakan akan bergeser ke pertanian ataupun peternakan.

Sektor properti juga dinilai berpotensi baik, tetapi ia menyarankan tidak untuk properti kelas atas. Justru kelas di bawah Rp 500 juta yang sedang bergeliat.

Sementara untuk portofolio, investor bisa melirik Surat Berharga Negara (SBN) memanfaatkan yield yang tinggi. "Hindari portofolio dengan risiko tinggi," imbuhnya.

Selanjutnya: Badan Gizi Nasional Belum Bahas Penambahan Anggaran Rp 100 Triliun dengan DPR

Menarik Dibaca: Jadwal KRL Jogja-Solo Pada 4 Sampai 5 Februari 2025, Catat Moms!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Bond Voyage Mastering Strategic Management for Business Development

[X]
×