Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketidakpastian masih menyelimuti pasar modal dan keuangan Indonesia. Yuk, simak strategi investasi dari analis.
Perencana Keuangan Finansia Consulting, Eko Endarto menilai dengan situasi saat ini sebaiknya investor wait and see menunggu kondisi stabil di ekonomi global. Terlebih ada sejumlah sentimen yang perlu diperhatikan investor, seperti perang di Timur Tengah, hubungan AS dengan China dan dari dalam negeri kinerja pemerintahan dalam 100 hari.
Di sisi lain, untuk jangka panjang, saat ini dinilai waktu yang baik untuk mulai mengumpulkan aset yang memiliki prospek bagus di masa depan.
"Sementara untuk jangka pendek bisa ke emas dan obligasi dan untuk jangka panjang bisa ke saham perusahaan blue chip," ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (12/11).
Secara umum, Eko menyarankan untuk investor tipe risiko konservatif bisa ke deposito dan obligasi negara sekitar 60% dan 40% ke emas. Untuk tipe moderat bisa ke emas 50% dan obligasi korporasi 50%.
"Untuk agresif bisa 60%-70% di saham atau kripto dan sisanya bisa kombinasi emas dan deposito," katanya.
Baca Juga: Ketidakpastian Global Tinggi, Simak Instrumen Investasi Berpotensi Menguntungkan
Research and Consulting Manager Infovesta Utama, Nicodimus Anggi Kristiantoro turut berpandangan saham dan obligasi menarik untuk jangka panjang, khususnya dengan dimulainya era Trump 2.0.
Karenanya, di 2025 untuk investor dengan tipe pasive management dia menilai bisa mengalokasikan 60% kelas aset surat utang, 20% kelas aset saham, 20% kelas aset pasar uang.
Nico menjelaskan, untuk obligasi negara investor bisa memilih SBN atau SBSN dengan strategi barbel (mix antara jangka pendek dan jangka panjang untuk mendapatkan kupon lebih tinggi), mempunyai YTM yang relatif tinggi dengan harga yang relatif wajar, dan seri yang modified durationnya relative lebih tinggi.
Untuk obligasi korporasi, ia menyarankan memilih rating single A, dengan Tingkat Z-Score historical dua tahun terakhir di level aman dan tren stabil, serta potensi sektor yang kokoh.
Untuk saham, ia menyarankan saham di universe minimal Kompas-100 dengan tren fundamental positif dari top-line dan bottom-line, valuasi yang relatif undervalued. Adapun sektor yang dinilai prospektif di tahun 2025 yakni perbankan, energi khususnya batubara, dan properti.
Baca Juga: Investasi SRBI di Dana Pensiun Terus Tumbuh Berkat Tawaran Suku Bunga yang Kompetitif
"Untuk pasar uang, bisa memilih KBMI 4 dan atau KBMI 3, dengan status Kesehatan bank (CAMEL) dalam 4 kuartal terakhir selalu sehat, dan bisa pilih reksadana pasar uang yang mempunyai annualized return paling tinggi diantara peers secara historical 1 sampai 3 tahun," paparnya.
Kemudian untuk tipe active management, dia berpandangan periode Januari – Maret 2025, seiring potensi penurunan suku bunga The Fed dan BI bisa mengalokasikan 50% kelas aset surat utang, 35% kelas aset saham, 15% kelas aset pasar uang. Lalu April - akhir kuartal II, seiring ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed lanjutan, bisa mengalokasikan 60% kelas aset surat utang, 30% kelas aset saham, 10% kelas aset pasar uang.
Kemudian di Juli – akhir kuartal III 2024 bisa mengalokasikan 60% kelas aset surat utang, 30% kelas aset saham, 10% kelas aset pasar uang. Pada periode ini, prediksi ekonom, Trump akan mulai menyuarakan perang dagang ke China.
Sementara di Oktober hingga akhir 2025 bisa 50% kelas aset surat utang, 25% kelas aset saham, 25% kelas aset pasar uang.
"Ini seiring potensi semakin terbukanya kenaikan tarif impor China," paparnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News