Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sosok Riadi Esadiputra, Chief Operating Officer Pluang rupanya sangat menyukai dunia investasi. Kecintaannya tercermin dari perjalanannya dalam mempelajari dan terus menjajal berbagai instrumen investasi.
Pengalaman pertama investasi pria yang kini menjabat sebagai Chief Operating Officer Pluang ini dimulai pada 2007 silam. Sebenarnya ia merasa cukup terlambat karena baru menjajal investasi ketika dirinya sudah bekerja. Saat itu, instrumen pertama pilihannya adalah reksadana berbasis komoditas.
“Bekerja di industri finance saat itu memberi keterbatasan untuk berinvestasi karena harus ikut proses compliance terlebih dahulu. Jadi, reksadana berbasis komoditas jadi instrumen investasi pertama kala itu,” kenang Riadi.
Sayangnya, investasi pertama Riadi tidak berbuah manis. Maklum, pada 2008 terjadi krisis ekonomi yang pada akhirnya memukul kinerja instrumen investasinya. Bahkan, ia berujar, 10 tahun setelahnya, reksadana tersebut belum balik modal. Untungnya, ia sudah melakukan cut loss dan dana yang digunakan saat itu belumlah terlalu besar.
Baca Juga: Bursa Wall Street Rontok Tertekan Ketegangan Rusia-Ukraina dan Bunga The Fed
Pria yang meraih gelar Master of Science pada Financial Engineering ini akhirnya belajar banyak dari kegagalan pertamanya tersebut. Ia mulai lebih paham soal volatilitas yang terjadi di pasar, serta memitigasi risiko. Setelah menjajal reksadana dari manajer investasi di Singapura, akhirnya Riadi memulai perjalan investasinya di pasar modal Indonesia pada 2011.
Saat itu, instrumen pilihannya adalah obligasi negara. Menurutnya, pada periode tersebut, Indonesia punya suku bunga yang tinggi jika dibandingkan suku bunga Singapura. Ditambah lagi, nilai tukar rupiah juga relatif stabil. Dengan potensi tawaran imbal hasil sekitar 7% per tahun, akhirnya ia pun membeli obligasi pertamanya.
“Saya lebih mengerti dan menguasai instrumen obligasi dibanding saham. Apalagi, saham lebih banyak memerlukan waktu untuk amati pasar. Lagipula return sebesar 7% per tahun itu sudah lumayan,” imbuhnya.
Ia juga mengaku kurang menyukai reksadana yang berbasis pendapatan tetap, sekalipun punya upside lebih tinggi dibanding obligasi negara. Pertimbangannya adalah, dengan adanya eksposur ke obligasi korporasi yang artinya menambah risiko, lalu ada biaya tambahan, menjadikan upside reksadana pendapatan tidak terlalu signifikan.
Terjun ke saham
Pada 2019, babak baru Riadi dalam dunia investasi dimulai dengan mulai mengoleksi instrumen saham. Namun, ia mengaku lebih memilih saham Amerika Serikat (AS) ketimbang saham di Indonesia. Pasalnya, dirinya justru lebih paham soal seluk-beluk pasar dan perusahaan AS ketimbang Indonesia.
Lagipula, ia percaya bahwa dalam berinvestasi, instrumen yang dipilih harus merupakan instrumen yang sudah dipahami, dikuasai, dan memberikan rasa nyaman. Selain itu, pasar saham AS yang sangat likuid membuatnya lebih tenang karena ketika investasinya tidak berjalan sesuai rencana, lebih mudah untuk keluar dari situasi tersebut.
Saat ini, pria lulusan National University of Singapore ini mengaku melakukan trading jangka pendek maupun investasi jangka panjang di saham. Untuk trading jangka pendek, ia suka melakukan transaksi kontrak lewat call option maupun put option. Lewat trading agresif inilah, Riadi banyak merasakan manis dan pahitnya bermain saham.
Ia bercerita, saat itu dirinya melakukan call option ke saham Apple karena yakin harga sahamnya bakalan naik lantaran Apple berencana melakukan stock split. Ternyata analisis yang ia miliki benar adanya, saham Apple menguat dan call optionnya berhasil. Riadi pun mengaku untung besar, jauh lebih besar daripada jual-beli saham secara biasa.
Baca Juga: Rusia Tumpuk Pasukan, Dolar AS dan Aset Safe Haven Diburu Investor
Mendapatkan keuntungan besar, Riadi pun semakin bersemangat. Kali ini ia punya analisis terhadap sebuah saham teknologi machine learning yang harganya sudah naik terlalu tinggi. Ia meyakini rally tersebut akan segera berakhir dan dia pun memasang short dengan option jual. Sayangnya, analisisnya salah, harga saham tersebut masih terus naik.
“Alih-alih cut loss, saya malah menaruh harapan harga tersebut bisa berbalik arah, tapi ternyata tidak. Kerugian pun semakin besar, sampai ga bisa tidur saat itu karena perdagangan saham AS juga terjadi di malam hari kan,” ujarnya.
Pria yang pernah menjabat sebagai COO and institutional sales for Southeast Asia di MUFG ini kembali belajar dari kerugian tersebut. Kini dia jadi semakin mengetahui profil risk tolerance-nya. Hal ini membuatnya semakin jeli dalam mengatur exit strategy.
Lebih lanjut, ia juga meyakini risk tolerance dan exit strategy adalah hal yang harus pertama dipelajari dan dimengerti oleh investor, khususnya pemula. Menurutnya, untuk mengetahui risk tolerance tidak hanya bisa sekadar mengandalkan perkiraan, namun juga harus dikombinasikan dengan pengalaman.
Baca Juga: Rekomendasi Saham Big Caps Menjelang IHSG Menembus 7.000
Riadi meyakini, cara paling ampuh untuk mengukur risk tolerance seorang investor adalah dengan mengetahui batas dana yang siap hilang ketika merugi. Ia mencontohkan, dalam menyusun portofolio, investor harus bisa membagi jumlah dana yang bersifat jangka panjang, setidaknya untuk mengungguli pertumbuhan inflasi. Dalam hal ini melalui deposito atau surat berharga.
Barulah sisanya disisihkan untuk portofolio yang sifatnya agresif mengejar return. Untuk porsi ini, selain agresif mengejar return, dana yang digunakan juga harus siap diikhlaskan ketika ternyata portofolionya merugi.
“Misalnya 80% jangka panjang dan 20% agresif, ini kan nanti dengan bertambahnya ilmu dan pengalaman, serta lebih tolerir terhadap risiko, porsi untuk agresif bisa ditingkatkan. Jadi, untuk tau risk tolerance, tidak hanya perlu kesadaran di awal, tapi juga dikombinasikan dengan pengalaman,” jelasnya.
Saat ini, Riadi mengaku saham AS menjadi instrumen yang memiliki porsi paling besar dalam keranjang investasinya, yakni sebanyak 40%. Lalu, sebanyak 30% dialokasikan untuk obligasi dan 10% pada aset kripto. Sementara sisanya, 20% disimpan di kas.
Riadi meyakini tahun ini saham-saham Amerika Serikat (AS) cenderung tidak terlalu bullish. COO Pluang ini menilai dengan adanya kebijakan The Fed menaikkan suku bunga acuan, maka ada risiko tambahan untuk saham AS, terlebih yang punya valuasi tinggi dan belum profitable.
Oleh karena itu, ia melihat idealnya investor yang tertarik melirik pasar saham AS memasang sikap wait and see, khususnya untuk paruh pertama tahun ini. Sebaiknya, investor mengamati terlebih dahulu seperti apa kebijakan The Fed.
Bagi investor yang tertarik masuk ke pasar saham AS, Riadi mengingatkan akan ada potensi volatilitas yang tinggi pada harga saham-saham tersebut. Oleh karena itu, pemilihan saham bisa mempertimbangkan perusahaan yang sahamnya secara value tidak terlalu tinggi, tapi punya fundamental solid dan prospek bisnis yang menarik.
“Saham sektor finance jadi salah satu yang paling menarik karena jadi sektor yang paling diuntungkan dengan pemulihan ekonomi serta kenaikan suku bunga acuan,” kata Riadi.
Selain itu, sektor energi juga menarik untuk dilirik lantaran harga komoditas energi yang tinggi pada tahun ini. Namun, Riadi mengingatkan investor untuk tetap mengedepankan diversikasi di tengah kondisi seperti ini.
Baca Juga: IHSG Menguat 1,25% Dalam Sepekan, Ini Rekomendasi Saham yang Bisa Dilirik Pekan Depan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News