Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Khomarul Hidayat
Mendapatkan keuntungan besar, Riadi pun semakin bersemangat. Kali ini ia punya analisis terhadap sebuah saham teknologi machine learning yang harganya sudah naik terlalu tinggi. Ia meyakini rally tersebut akan segera berakhir dan dia pun memasang short dengan option jual. Sayangnya, analisisnya salah, harga saham tersebut masih terus naik.
“Alih-alih cut loss, saya malah menaruh harapan harga tersebut bisa berbalik arah, tapi ternyata tidak. Kerugian pun semakin besar, sampai ga bisa tidur saat itu karena perdagangan saham AS juga terjadi di malam hari kan,” ujarnya.
Pria yang pernah menjabat sebagai COO and institutional sales for Southeast Asia di MUFG ini kembali belajar dari kerugian tersebut. Kini dia jadi semakin mengetahui profil risk tolerance-nya. Hal ini membuatnya semakin jeli dalam mengatur exit strategy.
Lebih lanjut, ia juga meyakini risk tolerance dan exit strategy adalah hal yang harus pertama dipelajari dan dimengerti oleh investor, khususnya pemula. Menurutnya, untuk mengetahui risk tolerance tidak hanya bisa sekadar mengandalkan perkiraan, namun juga harus dikombinasikan dengan pengalaman.
Baca Juga: Rekomendasi Saham Big Caps Menjelang IHSG Menembus 7.000
Riadi meyakini, cara paling ampuh untuk mengukur risk tolerance seorang investor adalah dengan mengetahui batas dana yang siap hilang ketika merugi. Ia mencontohkan, dalam menyusun portofolio, investor harus bisa membagi jumlah dana yang bersifat jangka panjang, setidaknya untuk mengungguli pertumbuhan inflasi. Dalam hal ini melalui deposito atau surat berharga.
Barulah sisanya disisihkan untuk portofolio yang sifatnya agresif mengejar return. Untuk porsi ini, selain agresif mengejar return, dana yang digunakan juga harus siap diikhlaskan ketika ternyata portofolionya merugi.
“Misalnya 80% jangka panjang dan 20% agresif, ini kan nanti dengan bertambahnya ilmu dan pengalaman, serta lebih tolerir terhadap risiko, porsi untuk agresif bisa ditingkatkan. Jadi, untuk tau risk tolerance, tidak hanya perlu kesadaran di awal, tapi juga dikombinasikan dengan pengalaman,” jelasnya.
Saat ini, Riadi mengaku saham AS menjadi instrumen yang memiliki porsi paling besar dalam keranjang investasinya, yakni sebanyak 40%. Lalu, sebanyak 30% dialokasikan untuk obligasi dan 10% pada aset kripto. Sementara sisanya, 20% disimpan di kas.
Riadi meyakini tahun ini saham-saham Amerika Serikat (AS) cenderung tidak terlalu bullish. COO Pluang ini menilai dengan adanya kebijakan The Fed menaikkan suku bunga acuan, maka ada risiko tambahan untuk saham AS, terlebih yang punya valuasi tinggi dan belum profitable.
Oleh karena itu, ia melihat idealnya investor yang tertarik melirik pasar saham AS memasang sikap wait and see, khususnya untuk paruh pertama tahun ini. Sebaiknya, investor mengamati terlebih dahulu seperti apa kebijakan The Fed.
Bagi investor yang tertarik masuk ke pasar saham AS, Riadi mengingatkan akan ada potensi volatilitas yang tinggi pada harga saham-saham tersebut. Oleh karena itu, pemilihan saham bisa mempertimbangkan perusahaan yang sahamnya secara value tidak terlalu tinggi, tapi punya fundamental solid dan prospek bisnis yang menarik.
“Saham sektor finance jadi salah satu yang paling menarik karena jadi sektor yang paling diuntungkan dengan pemulihan ekonomi serta kenaikan suku bunga acuan,” kata Riadi.
Selain itu, sektor energi juga menarik untuk dilirik lantaran harga komoditas energi yang tinggi pada tahun ini. Namun, Riadi mengingatkan investor untuk tetap mengedepankan diversikasi di tengah kondisi seperti ini.
Baca Juga: IHSG Menguat 1,25% Dalam Sepekan, Ini Rekomendasi Saham yang Bisa Dilirik Pekan Depan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News