kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.180   20,00   0,12%
  • IDX 7.096   112,58   1,61%
  • KOMPAS100 1.062   21,87   2,10%
  • LQ45 836   18,74   2,29%
  • ISSI 214   2,12   1,00%
  • IDX30 427   10,60   2,55%
  • IDXHIDIV20 514   11,54   2,30%
  • IDX80 121   2,56   2,16%
  • IDXV30 125   1,25   1,01%
  • IDXQ30 142   3,33   2,39%

Jika investor reksadana belum redemption, itu baru sebatas potensi rugi


Jumat, 03 Juli 2020 / 16:54 WIB
Jika investor reksadana belum redemption, itu baru sebatas potensi rugi
ILUSTRASI. Ilustrasi investasi reksadana. KONTAN/Muradi/2020/03/10


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi Covid-19 yang terjadi sejak Maret lalu membuat banyak investor reksadana mengalami potensi kerugian investasi. Hal ini terutama terjadi pada produk reksadana saham atau yang underlying aset investasinya adalah saham-saham di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Direktur Infovesta Utama Parto Kawito mengatakan, potensi kerugian tidak hanya terjadi di reksadana berbasis saham, jenis reksadana lain seperti reksadana pendapatan tetap juga mengalami fase naik-turun seiring pergerakan harga obligasi yang menjadi underlying-nya.

Meski demikian, selama investor tidak mencairkan atau melakukan redemption atas reksadananya maka masih disebut sebatas sebagai potensi rugi. “Kerugian baru terjadi ketika investor melakukan redemption atas reksadana yang dimilikinya,” ujar Parto dalam keterangannya, Jumat (3/7).

Baca Juga: Begini prospek industri reksadana di paruh kedua 2020

Naik turunnya investasi di reksadana, lanjut Parto, sebenarnya adalah hal biasa. Indonesia sempat mengalami beberapa kali masa krisis dan terbukti bisa melewatinya dengan baik. Seperti di tahun 1998 lalu kemudian di tahun 2008 akibat krisis keuangan di Amerika yaitu subprime mortgage facility, industri reksadana di Indonesia juga terkena dampaknya. "Kembali ke sejarah, tahun 1998 saham turun, 2008 turun, ternyata kemudian saham dan reksadana berbalik dan kembali naik lagi," kata Parto.

Malah, imbuh Parto, setiap krisis sesungguhnya juga memberikan peluang investasi karena nilai unit investasi menjadi terdiskon. Dan ini menjadi kesempatan buat investor untuk melakukan top up.

Strategi average down ini membuat harga pembelian rata-rata menjadi turun. Sehingga ketika kondisi pasar mulai membaik, posisi untung lebih mudah dicapai dibanding tanpa melakukan average down.

"Justru kalau ada uang sekarang waktunya top up, jadi harga rata-ratanya semakin baik. Ini saatnya membalikkan kerugian," saran Parto.

Terlebih industri reksadana termasuk salah satu sektor yang sangat teregulasi. Contohnya ketika investor mulai memasukkan dananya, setiap manajer investasi akan menjalankan kebijakan know to your customer (KYC). Ini dilakukan untuk mengetahui asal usul dana investasi.

Sehingga setiap dana investasi yang masuk ke reksadana dengan nilai tertentu, sekitar Rp 100 juta, dapat diketahui sumber dananya. Dengan demikian kebijakan ketat yang dilakukan oleh otoritas jasa keuangan ini juga untuk mencegah adanya tindak pidana pencucian uang di industri reksadana.

Baca Juga: Prospek industri reksadana bergantung pada sentimen Covid-19

Untuk memastikan tidak terjadi penyimpangan dalam pengelolaan dana investor, sesuai ketentuan OJK, dana investor di simpan di rekening terpisah di bank kustodian.

Sementara sebagai jasa pengelolaan dana investasi tersebut Manajer Investasi mendapatkan fee yang besarnya sudah ditetapkan di awal. Besarnya beragam mulai 1-2% per tahun dari nilai investasi investor.

Berinvestasi di reksadana pun dapat diatur sesuai tujuan investasi, profil risiko, jangka waktu dan nilai investasi dari pemilik dana. Dengan memahami empat hal tersebut investor diharapkan bisa mencapai target investasinya secara optimal.

Parto mengamini bahwa setiap produk investasi seperti halnya reksadana pasti memiliki risiko, termasuk mengalami kerugian investasi. Tetapi dengan strategi yang tepat dan memahami produknya, risiko investasi itu bisa dikelola dengan baik.

Oleh karena itu, Parto menyarankan, dalam situasi krisis akibat Pandemi Covid-19 seperti saat ini sebaiknya investor tidak panik atau melakukan redemption reksadananya.

Sebab, selama unit penyertaan masih ada di rekening investor, penurunan aset reksadana yang terjadi baru menciptakan potensi kerugian.

Terkait potensi kerugian investasi ini tidak hanya dialami oleh investor perorangan. Investor pemilik dana besar seperti PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang banyak menempatkan dananya di produk reksadana juga mengalami hal serupa. Bahkan, potensi kerugian investasi Jiwasraya tersebut kini menjadi perdebatan di meja hijau.

Baca Juga: Tren kinerja reksadana lesu diprediksi berlanjut hingga akhir tahun

Tak hanya pejabat Jiwasraya, perusahaan penerbit reksadana atau Manajer Investasi (MI) juga turut ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung. Tak tanggung-tanggung, ada 13 perusahaan MI yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi korporasi.

Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono, berdasarkan perhitungan Badan Keuangan Negara (BPK) nilai kerugian negara yang ditimbulkan oleh 13 MI tersebut mencapai Rp 12,15 triliun. "13 korporasi telah merugikan negara Rp 12,15 triliun, ini merupakan perhitungan keuangan negara," kata Hari.

Sampai saat ini dana investasi Jiwasraya di 13 MI tersebut masih terjaga. Unit penyertaannya dipegang atas nama Jiwasraya dan tidak dilakukan penarikan atau redemption.

Namun, akibat nilai underlying investasinya turun, total investasi Jiwasraya di reksadana, yang rata-rata berbasis saham itu, juga ikut terpangkas, sehingga menimbulkan potensi kerugian. Tapi seperti halnya reksadana lain, potensi kerugian Jiwasraya tersebut terbuka untuk mengalami rebound.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×